>

Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Februari 2013

Senja Musim Lalu #bag.03


TENTANG WAKTU


Gisha terdiam diloteng kampus. Ia mulai merasa bahwa ada atau tidak ada Eras sama saja. Mungkin benar apa yang Eras katakan, hubungan mereka benar-benar berada pada titik jenuh. Padahal sudah hampir Lima bulan mereka berpisah, kehadiran Gadis cukup menjadi sahabat untuknya. Ia tidak pernah merasa kesepian, meskipun Gadis baru semester satu tapi ia sangat dewasa menyikapi keadaan Gisha. Ditambah dengan Abang dan sahabat karibnya, Revi, yang selalu berpenampilan kocak.
“Hey!” panggil sebuah suara
“baru juga difikirin Dis” sapa Gisha.
“Tadi aku cari dikantin, kata Bang Afif nggak masuk kelas ya hari ini?” tutur Gadis.

Gisha hanya tersenyum.
“kenapa?” tanya Gadis.
“nggak ada apa-apa kok Dis, nggak kerasa aja sudah Lima bulan ya kita bersahabat”
“persahabatan kita apa Perginya Eras dari hidup kamu?” tebak Gadis.
Gisha kembali tersenyum “kamu pintar nebak perasaan orang ya Dis?”
“Sha, jadi kamu mikirin Eras?” kata Gadis sambil menepuk pundak Gisha.
“aku nggak tau Dis, tapi kenapa setiap aku ingat dia aku selalu sedih” Gisha mulai sesenggukan.
“kalian mau putus?” tebak Gadis.
Gisha tersenyum kecut “Delapan tahun Dis, hari ini tepat Delapan tahun hubungan kami. Dan itu bukan waktu yang singkat buat aku. Eras mampu menumbuhkan keyakinan..”
“Bahwa didunia ini masih ada laki-laki baik” potong Gadis.
Gisha kembali mengangguk.
“Sha, hubungan itu bukan masalah waktu! Lalu, apakah persahabatan kita yang masih Lima bulan ini tidak ada artinya buat kamu? Karena hanya masih Lima bulan?”
“bukan begitu Dis, saat ini aku lebih butuh kamu dari pada Eras”
Gadis memeluk Gisha yang sesenggukan
“Sha, bertahannya suatu hubungan itu dilihat dari bagaimana kita mampu menghargainya. Bukan lama waktunya”
Gadis dan Gisha pun menoleh demi mendengar suara tersebut. Ternyata Afif dan Revi.
“Tumben bisa bijaksana Bang” Goda Gadis.
“hem.. berarti kamu belum bisa mengenal siapa Abang kamu ini ya?” ejek Afif.
“Afif kan kalau sama Gisha jadi bijaksana Dis, kalau sama kamu, fikir sendiri deh!” Ledek Revi yang sukses membuat Afif cengengesan.
“eh, tapi bagus kok Fif kata-katanya” Puji Gisha.
“Sha, ingat bahwa masih ada yang peduli dengan kamu”  Goda Revi.
Deg! Sejenak jantung Gadis berdetak demi mendengar kata-kata Revi. Itu adalah kalimat yang pernah diucapkan laki-laki yang menabraknya waktu itu.
“maunya.. peduli sama Gisha” Ejek Afif.
Mereka ber empat pun sontak tertawa. Senja itu diloteng kampus menjadi saksi keakraban mereka ber Empat. Persahabatan yang tanpa sengaja mereka lalui. Perasaan kagum yang berubah mejadi perasaan peduli dan saling menjaga satu sama lain.
Dan senja itu, menggeser musim lalu. Dimana dibalik panasnya matahari, dan keringnya kehidupan, akan ada satu musim yang membasahi tiap-tiap sudut kota. Yah! Musim benar-benar telah berganti. Hujan menghapus kemarau lalu dengan air-air langitNya. Menumbuhkan kembali mimpi dan harapan yang nyaris kehausan. Bagaimanapun Gisha tersadar, bahwa bukan hanya cinta Eras yang mampu membuatnya tetap bertahan. Hidup tanpa Eras tak sepilu yang ia bayangkan sebelumnya. Justru ketika Eras pergi, Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Ketiga orang yang membuatnya lebih bermakna. Lebih terbuka, dan berwarna. Tak hanya kelam jika memang tengah kelam, ataupun hanya bersinar ditengah kelam. Dunianya bukan hanya sebatas Eras lagi!

Gisha melangkah semangat menuju minimarket dekat rumahnya. Tak pernah ia rasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Bahkan dengan Eras sekalipun! Sesekali ia rapatkan jacketnya demi menyesuaikan tubuh dengan suhu AC diruangan tersebut. Karena diluarpun Hujan tadi sore masih menyisakan titik-titik gerimis dan hawa dinginnya.
“Gisha?” sapa sebuah suara yang seperti tak percaya melihatnya.
Gisha pun menoleh, dan reaksinya sama seperti orang itu “Eras?”
Sejenak mereka saling tatap, seperti dalam keadaan bingung. Gisha dan Eras tak mampu merasakan apa yang tengah mereka berdua jalani, bertemu dalam tempo waktu yang tidak sesuai dengan yang mereka bayangkan.
“hai, apa kabar?” sapa Gisha mencoba menenangkan hatinya yang tengah bergejolak. Tapi ia tidak tahu perasaan apa, ia merasa tidak ada rindu dimata Eras maupun dihatinya.
Eras hanya tersenyum “kelihatannya belanja banyak?”
Sejenak Gisha melihat belanjaannya “iya, Mami mengundang Gadis kerumah”
“Gadis? Siapa?” tanya Eras
“oh, dia sahabatku. Satu kampus dengan kita, Cuma dia masih semester satu” “adiknya Afif”
“Afif?”
“ia, teman satu kelas kita. Kalau kamu mau ikut gabung boleh kok”
“sorry, sepertinya tidak bisa. Aku sibuk belakangan ini”
“sejak kita jauh?”
Eras terdiam menatap Gisha “bisa kita bicara sebentar di depan situ” pinta Eras sambil menunjuk kursi yang ada di depan Minimarket.
Gisha pun melangkah menuju kasir, sementara Eras menunggunya dikursi depan.
“Sha, seharusnya bukan saat ini kita bertemu. Masih ada waktu satu bulan lagi”
“bukankah sama sama saja? Mungkin aku bisa menebak apa yang kamu rasakan” tutur Gisha tanpa memandang ke arah Eras.
“aku baru sadar, bahwa hubungan kita hanya untuk ajang kesombongan kita masing-masing Sha. Tanpa sadar aku berharap banyak yang memuji hubungan kita, dan akhirnya kita terkenal. Hanya trade mark semata, ibarat hak paten” “tapi nyatanya, hanya orang-orang biasa yang mentenarkan kita”
“maksud kamu?”
“yah! Orang-orang yang kesepian saja yang mengenal kita. Karena dia sempat untuk mengingat sesuatu yang sebenarnya tidak penting dalam hidupnya”
“bicara apa kamu? Berarti kamu anggap orang-orang dikampus kita, yang telah baik terhadap kita, yang telah mendo’akan hubungan kita, mereka itu orang kesepian!”
“yah! Tapi tidak semua di kampus kita orang kesepian. Bahkan ada satu sosok yang sama sekali tidak kenal kita”
“itu tidak mungkin Eras!”
“lalu? Apakah kamu juga menjadikan hubungan kita hanya sebatas ketenaran Sha?”
Gisha sontak terdiam, Eras benar. Selama ini Ia selalu berusaha menjaga hubungannya dengan Eras karena hubungan itulah yang membuat ia dikenal dikampusnya.
“tapi itu bukan kemauanku Ras, mereka sendiri yang memuji-muji hubungan kita bak selebriti”
“dan kita yang salah, karena pada hakekatnya kita hanya mampu menghargai pujian itu saja. Bukan hubungan kita”
“apa semua bisa kita perbaiki Ras? Atau..” “tidak sama sekali” ucap Gisha lirih.
“aku tidak tau Sha, tapi percayalah. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, bahkan aku tidak pernah tega melihat kamu sesedih ini”
“aku percaya Ras, tapi apa yang kamu rasakan sekarang?”
“aku..”
“kamu tidak penah merasakan rindu yang kita harapkan ya Ras?” potong Gisha.
Eras menggeleng “kamu?” tanyanya sambil menunduk.
“aku tidak tahu” jawab Gisha sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
“mungkin ini sia-sia”
“tidak ada yang sia-sia Ras, mungkin kita belum merasakannya” tutur Gisha sambil menatap Eras.
Sejenak mereka terdiam. Menikmati hawa dingin dari hujan tadi sore.
“mungkin aku harus terima tawaran Papa” kata Eras membuka percakapan.
“Tawaran?” tanya Gisha tak mengerti.
“iya, Papa menyuruh aku untuk mutasi Kuliyah”
“kemana?”
“Amerika”
Gisha terdiam dan seolah tak percaya “Amerika?”
“ aku hanya tinggal Empat Semester saja kan Sha”
“tapi itu bukan waktu yang sebentar Ras”
“dulu kamu juga pernah bicara seperti itu kan? Lalu apa waktu yang kita janjikan sebelumnya mampu menumbuhkan kembali perasaan yang pernah sama-sama kita miliki Sha?”
Gisha menggeleng.
“jujur Sha, aku tidak pernah ingin melihat kamu sedih. Dan mungkin waktu yang semakin lama untuk kita tidak berkomunikasi mampu menumbuhkan perasaan rindu” “perasaan yang selalu kita harapkan, agar kita mampu menghargai hubungan kita”
Mereka kembali terdiam, berusaha untuk menumbuhkan perasaan yang pernah sama-sama mereka miliki. Tiba-tiba HandPhone Gisha berbunyi.
“Gadis sudah datang” Kata Gisha.
Eras memandang Gisha, “Sampai bertemu Empat musim yang akan datang” Ucap Eras lirih.
“kamu benar-benar tidak mau ikut?”
Eras menggeleng.
“Sekedar acara perpisahan?” kata Gisha dengan mata berkaca-kaca.
“Papa juga sudah menunggu keputusanku, titip salam buat Mami”
“iya, beliau juga sering bertanya soal kamu” “ya sudah aku duluan”

Eras hanya melihat Gisha yang hilang bersama dengan langkah kakinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar