>

Cari Blog Ini

Senin, 07 Maret 2016

BAYANG-BAYANG HATI - bag. 1




Ketika kita memutuskan untuk mencintai seseorang di luar dari yang seharusnya kita cintai, berarti kita telah merelakan sebagian hati dan fikiran untuknya.
Orang bilang waktu itu berharga, tapi tak sedikit yang menghabiskan bertahun-tahun waktu hanya untuk menahan seseorang didalam hatinya. Ia menetap diselimuti kumpulan rahasia. Bahkan yang mengkhawatirkan mungkin saja waktu yang memang terbuang akan sia-sia dan tak ada tempat lagi untuk mengisi hati yang baru. Karena tempat yang tadinya tersusun rapi dengan rahasia, penuh dengan kekecewaan yang tak terbaca. Akan hanya rasa sakit tanpa luka yang ada bila tanpa keiklasan.
Karena mencintai itu mengikhlaskan,  mengikhlaskan sebagian hati dijajah oleh penjajah yang bahkan tak tau dia tengah berkuasa atas cinta seseorang.
Mencintai, berarti mengikhlaskan sebagian waktu terbuang untuk memikirkan seseorang yang bahkan belum tentu memikirkan dirinya pula.
Kalau kau menahan hati pada cinta manusia, maka cinta tak akan memberimu waktu.
"Ya ampun Fay.. jadi dari tadi siang laporan belum kelar kamu cuma baca sajak-sajak ga jelas begitu"
Faya reflek langsung mengclose laman yang tengah ia buka. Asti sahabatnya tengah memergoki keasyikannya, dan dia hanya bisa tertawa malu.
"Sadar Fay, seminggu lagi kan kamu cuti. Bos bakal ngomel kalau kamu ninggalin kerjaan yang nggak beres. Palingan aku yang kena omel"
"Iya.. iya..  Maaf. Lagian ini sehari juga kelar kok laporan"
"Lebih cepat lebih baik kan Fay? Lagian ngapain lembur kalau cuma begitu?"
Faya tak lagi menyahut, dia kembali fokus pada pekerjaan yang sempat dia abaikan. Meskipun ia tau, ia tak akan bisa fokus sepenuhnya.
"Orang tuh Fay biasanya kalau mau nikah itu seneng, palingan pusing ngurus persiapan dan sebagainya" Asti yang memang duduk disampingnya tiba-tiba nyeletuk.
"Kayak sendirinya sudah nikah" balas Faya dengan masih fokus pada pekerjaannya.
"Kamu itu beruntung Fay dapat Kak Surya. Kamu beruntung aku kenalin sama dia, hampir semua akhwat di kampus kita dulu, naksir sama dia"
"Termasuk kamu?"
Untung saja Faya masih fokus dengan pekerjaannya sehingga dia tidak menyadari perubahan raut wajah Asti yang berbeda.
"Ngomong apa sih, kalau aku suka sama Kak Surya. Aku ga akan ngenalin kamu"
Percakapanpun berakhir dengan Faya yang tak berkedip memandang monitor dan mengetik.  Sedangkan Asti diam tanpa ada yang tahu pula apa yang dia fikirkan.
Bila Asti terdiam sedang kan fikirannya melayang, Faya sebenarnya pun juga tidak tengah fokus pada pekerjaannya. Tangannya mengetik,  tapi fikirannya menjerit.
Dia tekan tuts Enter dengan keras. Lalu memutar kursinya menghadap Asti.
"Keberuntungan dalam pernikahan itu hanya untuk orang yang saling mencintai"
Asti sejenak tersentak dengan keyboard yang diketik keras oleh Faya.
" Kamu terkontaminasi sama sajak barusan"
"Sajak itu aku yang tulis dan diterbitkan disalah satu artikel"
Asti terbelalak, dia langsung merebut mouse Faya mencari laman yang baru dibuka. Benar saja disitu tertulis nama Faya.
"Apa-apaan ini?! 'Sajak Putus Asa'?  Kamu mau menjadikan pernikahanmu nanti seperti penjara yang menahan hatimu?"
"Bukankah dunia inipun seperti penjara?"
"Kalau begini, kamu hanya akan menyakiti hati Kak Surya!"
"Dia tidak akan tersakiti selama tidak ada yang mengatakan"
"Itu dia! Seharusnya kamu katakan dari awal padanya Fay"
Faya diam sejenak, kemudian tersenyum sinis. Ia menggeser kursinya dan berdiri dihadapan Asti.
"Bukankah ketika kamu bilang Kak Surya ingin ta'aruf denganku aku sudah mengatakannya As? Bukankah aku bilang kalau aku belum siap membuka hati dan tidak ingin Kak Surya kecewa? Tapi kamu terus-terusan memuji senior kamu itu sehingga seolah-olah aku tidak pantas menolaknya? Apa kamu lupa As?"
Sekali lagi Asti menyadarinya. Dia langsung duduk di kursinya.
"Sudahlah, ini pernikahanmu. Jangan sampai hubungan persahabatan kita jadi berubah karena ini"
"Sejak hari dimana kamu bilang itu, kamu juga sudah berubah As"
Asti menatap kaget Faya "Hey! Apa yang kamu fikirkan tentang aku Fay?!"
"Yang aku fikirkan, Nasib kita sama As"
Asti terdiam, sementara Faya berkemas dan meninggalkan Asti sendiri di ruangan.
Faya melangkah malas tanpa tujuan. Ia percaya pada langkah kakinya pasti menemukan ketenangan.
"Kalau kamu capek, pasti ngantuk lalu pulang dan tidur" katanya sambil menunduk melihat kakinya.
Faya sampai di taman kota, ia melirik arlojinya, pukul 19.44, dia punya waktu sekitar setengah jam untuk bersantai. Dia duduk disalah satu kursi menikmati malam.
Sejujurnya nasibnya tak sesadis yang dialami Asti, setidaknya dia tidak menyaksikan orang yang dia cintai menikah duluan, apalagi dengan sahabatnya.
"Aku tau As, Dan bodohnya aku tak mau tau" bisiknya.
Faya tak bisa menahan air matanya, "hal seperti ini tak pantas untuk ditangisi kan?"
Angin malam perlahan membelai lembut hijabnya, mencoba untuk mendinginkan kepalanya.
Dalam penantian tanpa dinanti, hanya ada keberuntungan dan rasa kecewa. Sedangkan keberuntungan adalah ketidak mungkinan dalam beberapa kasus.
Mereka yang kecewa, ada yang terus-menerus menyalahkan takdir dan memuja penantiannya. Padahal siapa yang tau kalau dirinya dinanti? Lalu siapa yang harus disalahkan kalau pada akhirnya dia meninggalkan? Sementara cinta untuknya selalu disembunyikan.
Lalu takdir mana yang kau bilang tidak adil? Takdir yang kau ciptakan melalui keputusanmu itu?
Kau membuat keputusan tanpa melibatkan Pemilik ketentuan. Sedang ketika keputusan itu meremukkan hatimu, kau salahkan ketentuan yang harus kau terima?
pada akhirnya haruskah hati berlabuh pada dermaga lain dan menyerah pada penantian yang bahkan tak tahu bagaimana akan berakhir?
Faya menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Kak Surya memang laki-laki yang baik. Bahkan pesonanya bisa ia rasakan ketika pertama kali mereka bertemu.
Saat itu di satu malam ketika ia menemani Asti bertemu teman-teman kampusnya di Teras kota. Mereka yang memang tak ada tujuan dan sudah makan malah asik ngobrol di salah satu Toko buku. Faya yang belum bisa berbaur dan merasa asing memisahkan diri dan iseng mencari buku yang mungkin ia butuhkan nanti.
Brukkk!!!
Faya hendak meraih buku di rak atas sambil berjinjit-jinjit tidak sampai, tapi malah buku itu jatuh diatas kepala orang yang tengah berdiri disampingnya. Orang yang tengah asik membaca itupun reflek mengaduh.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja"
"Tidak apa-apa mbak. Bisa saya bantu mau ambil yang mana?"
Faya menunjuk salah satu buku.
Ya, dia adalah Surya, yang kemudian tak sengaja bertemu Asti dan kawan-kawannya.
Faya sama sekali tak menyangka kalau besoknya Asti bilang laki-laki itu ingin ta'aruf dengannya. Saat itu Asti menyampaikan dengan sangat bahagia, dan mata berbinar. Seolah dialah yang akan diajak ta'aruf.
"Faya?"
Faya tersentak, seseorang memanggil namanya. Dan ia hampir tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Penjajah itu datang" bisiknya yang nyaris tak bisa didengar
"Apa?"
"Eh tidak. Gigar? Kok disini? Bukannya kamu di.."
"Ia saya lagi berkunjung dirumah teman saya. Kenalkan ini Nabil"
Faya tersenyum pada Nabil, begitu sebaliknya.
"Kenalkan Mbak, saya Nabil. Teman kuliyahnya Mas Gigar"
Sekali lagi Faya hanya tersenyum.
"Ini Faya Kang, dia teman SMP saya"
"Ooo.. teman lama. Lama tidak bertemu" canda Nabil
Faya dan Gigar tertawa ringan.
"Saya dengar kamu di Jakarta, kok bisa sampai BSD?" Gigar kembali membuka pembicaraan.
"Aku udah lama pindah kesini"
"Ooo.." Gigar mengangguk-angguk
"Aku aja tau loh kamu lanjut S2" celetuk Faya
"Lama juga ya, hampir sepuluh tahun kita tidak ketemu" Gigar membuka obrolan lain
"Dua tahun lalu kita ketemu di reunian" Faya memberanikan diri menatap Gigar" meski hanya saling melihat saja"
Nabil yang tidak tahu apa-apa merasa ada sesuatu yang tidak beres dan memutuskan untuk diam saja.
"Oh iya.." Gigar mencoba membalas wajah serius Faya dengan senyum.
Faya berpura-pura melihat jam tangannya.
"Maaf sudah malam, aku pamit ya"
Kali ini ia tersenyum,  tapi jelas sekali dipaksakan. Tanpa peduli dua sahabat yang diam,  Faya langsung melangkah pergi.
"Faya"
Merasa Gigar memanggilnya, Faya pun menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Kalau saya ada salah, saya minta maaf" kata Gigar
Faya membuka tasnya, ia hampir melupakan sesuatu.
"Maaf aku hampir lupa" Faya memberikan undangan "In syaa Allah minggu depan aku nikah. Kamu harus hadir, karena kamu pasti heran kenapa undangan buat kamu udah aku siapin. Karena aku tau, kita pasti ketemu" "Terimakasih"
Faya langsung meninggalkan Gigar sambil menahan air mata
**Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar