HATI UNTUK DICINTAI
Muzain mempercepat langkahnya. Demi melihat perempuan
yang baru dia lihat.
Jarang bisa menemukan perempuan itu dalam keadaan
sekarang, setelah lama ia tak berjumpa dengannya, setelah lama ia mencarinya.
“Gadis!” panggilnya mantab.
Perempuan yang merasa dipanggil itupun menghentikan
langkahnya, dan menoleh. Ada raut kaget dan tak suka diwajahnya.
“bisa ngobrol sebentar kan?” pinta Muzain.
“sebentarnya berapa lama?”
“eemm.. tiga menit” pinta Muzain
“Masih sebentaran dua menit” kata Gadis dengan ketusnya.
“oh, ya sudah dua menit”
“lebih sebentar satu menit”
“ya sudah, kamu maunya berapa menit?” tanya Muzain
berputus asa.
“satu detik” jawab Gadis cepat.
Muzain tersentak “Dis, saya itu mau ngobrol, mau jelasin
kesalah pahaman ini! bukan mau beli waktu kamu. Sampe harus pake tawar menawar
segala”
“nggak suka?!”
“Dis.. saya mohon”
Gadis nampak berfikir sejenak. “saya nggak ada waktu,
jadi nggak usah dibeli” kata Gadis sambil meninggalkan Muzain.
Muzain melihat langkah Gadis dengan kecewa.
Namanya Gadis Eshtania Yuza Adhinegara. Remaja yang
catik, pintar, ramah, dan.. berhijab.
Muzain mengenalnya ketika gadis itu duduk di bangku tiga
SMA.
Cinta, bila kau adalah sebuah noktah cahaya..
Mengapa aku selalu melihatmu sebagai kelabu?
Apakah yang kulihat itu hanya bayanganmu?
Bukankah hati dicipta untuk saling mencinta?
Bukan membenci seperti ini..
Kenapa tak pernah kau jelaskah bagaimana menemukanmu?
Kenapa tak pernah kau beri waktu untuk merasakanmu?
Padahal apa yang kurasa jelas adanya,
Murni dan nyata,
Bukan dibuat-buat, apa lagi sandiwara..
Cinta,
Bila cahayamu tak kunjungpun tiba,
Temui aku,
Dimana cinta tertinggi memanggilku untukNya.
Bila memang tak ada masa untuk bersua,
Kutunggu dirimu,
Dipintu syurga para cinta..
Hati ini,
Hati untuk dicintai..
Dicintai untuk bersamamu..
“Mas Muzain?”
Bisik seorang gadis cantik yang berdiri dibelakang
Muzain, seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Merasa dipanggil, Muzain pun menoleh. Dan ekspresinya tak
kalah kaget dengan gadis itu.
“kamu..?” Muzain berusaha mengingat.
Gadis itu tersenyum, “saya Gisha mas, pacarnya Eras dulu”
“oh iya!”
Gagal menemui Gadis, akhirnya Muzain menuju rumah makan
tak jauh dari tempatnya tadi. Tentu saja bersama Gisha. Muzain pernah di
kenalkan Eras dengan Gisha, kurang lebih delapan tahunan yang lalu. Ketika Eras
baru duduk di bangku SMP. Yah, tak sedikit yang ia tahu mengapa Eras sampai
berpacaran ketika masih duduk di bangku ‘biru putih’. Tapi, setelah mereka
sama-sama sudah dewasa, Eras SMA dan ia mulai kuliyah, ia tak pernah lagi
bertemu dengan saudara sepupunya, karena dia kuliyah di luar kota. Setelah
kuliyah ia kerja, dan Eras pun tak kalah sibuk dengan dunianya.
“tadi, kamu bilang ‘pacar Eras dulu’?”
tanya Muzain setelah sekian lama mereka
berbincang-bincang kesana kemari. Dan tak ada satu katapun yang Gisha ceritakan
tentang hubungannya dengan Eras. Ia hanya menjawab seperlunya ketika Muzain
mengajukan pertanyaan seputar Eras.
Gisha hanya tersenyum, senyum yang kelihatan sangat
dipaksakan. Senyum yang tentu tidak sama saat pertama kali Muzain bertemu dia.
“saya kurang mengerti Gisha, dan saya rasa fikiran saya
salah, kalau menyimpulkan.. kalian – sudah – selesai” tutur Muzain ragu-ragu.
Pasalnya ia tak akan percaya kalau sepupu laki-lakinya
itu memutuskan Gisha, dan kalaupun mereka putus, tentu alasannya hanya satu,
orang ketiga.
Orang ketiga? Baik Gisha maupun Eras, ia sangat yakin
mereka tak akan mengkhianatinya.
Gisha, gadis cantik idola hampir semua laki-laki, bahkan Muzain
mengakui kalau Gisha itu gadis yang tak hanya cantik, tapi berhati lembut.
Eras, ah.. apa lagi dia! Eras bukan tipe laki-laki yang
aji mumpung. Ia memikirkan segala sesuatu dengan sangat matang. Termasuk
memutuskan pacaran di usia yang sangat muda. Apalagi dengan latar belakang
Gisha, tak mungkin Eras tega meninggalkannya.
“bukan ‘selesai’ mas, tapi..” Gisha menarik nafasnya
dalam-dalam, dan mengeluarkannya pelan “Eras hendak belajar menumbuhkan rasanya
dulu” lanjut Gisha dengan mata berkaca-kaca.
“maksud kamu?” tanya Muzain yang mulai meraba
permasalahannya.
“mungkin saya masih ada rasa buat Eras, meskipun tak
banyak. Tapi saya tetap ingin menjaganya mas” “dan mungkin juga begitu dengan
Eras”
Muzain hanya menganggukkan kepalanya.
“Eras memutuskan, agar kita berpisah dulu untuk beberapa
waktu. Supaya kita benar-benar bisa merasakan cinta itu lagi seperti pertama
kali kita bertemu” tutur Gisha
“jadi, alasan Eras ke Amerika itu, karena..” Muzain tak
mampu melanjutkan kata-katanya. Karena wanita yang duduk didepannya kini tengah
benar-benar menangis.
“iya mas” jawab Gisha pelan
“tidak bisa begini Gisha. Bagaimanapun, Eras tidak berhak
menggantungkan statusnya”
“.....”
“inilah mengapa dari dulu saya menyuruh kalian segera
menikah duluan, tanpa mempedulikan saya yang hanya saudara sepupu”
“mas Muzain, jangan salahkan diri mas Muzain”
Muzain memandang keluar melalui jendela kaca. Rumah makan
itu mempunyai halaman cukup luas, dengan taman yang ada disalah satu sudutnya.
Tampak hijau rerumputan di mainkan oleh angin. Sesekali para anak-anak dari
pengunjung rumah makan itu bermain di taman itu, menikmati rumput yang
menyentuh kaki-kaki mereka tanpa sandal atau sepatu. Tertawa, menikmati hidup
mereka. Yang tentu mereka tak pernah tau, bahwa hidup dimasa merekalah yang
paling bahagia. Jika saja mereka tahu, Muzain yakin mereka enggan untuk menjadi
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar