>

Cari Blog Ini

Minggu, 26 Oktober 2014

BAIT - BAIT CERITA RINDU



Namaku Wildan, aku Mahasiswa sekaligus karyawan. Bukan karyawan kantor, melainkan pelayan di sebuah restoran milik keluarga Aqilah, teman satu kuliyahku. aku bisa kerja disitu karena sekarang dialah yang memimpin restoran itu.
Aku suka dengan nuansa restoran milik keluarga Aqilah, yang tersedia taman bermain kecil untuk anak-anak dan beberapa bunga, yang disetiap sudutnya tersedia kursi.
Dan disalah satu kursi itu, setiap sore aku bisa memperhatikan seseorang. Aku hanya tau tentang dia sedikit, tapi aku telah jatuh cinta padanya. Bukan pada parasnya, tapi pada cara pakaian dan ‘kediamannya’ serta bait puisinya yang selalu membuatku untuk lebih ingin tahu semuanya.. seperti sore ini, angin menerpa jilbab lebarnya sementara ia sibuk menulis sesuatu, setelah hampir dua jam lebih dia termenung dan hanya diam, kemudian merobeknya dan meninggalkannya. Kemudian dia pergi
Biarkan gelap kali ini bercerita,
Bagaimana senja secara sengaja memakan siangnya..
Dan apa kau lihat?
Bahwa bulan hanya mampu muncul setelah matahari tiada,
Aku tak menyalahkan bulan, pun tak membencinya..
Aku hanya ingin dia belajar dari kesetiaan matahari,
Matahari itu bukan pergi, melainkan pindah untuk menerangi bagian lain..
Aku lelah!
Aku ingin seperti matahari,
Tapi mungkinkah?
Sedangkan aku tak ada bedanya seperti  bulan yang bergantung pada matahari..

Aku kembali menemukan secarik kertas itu, aku lihat sosok itu pergi. Perempuan itu?
“Puisi lagi Dan?”
Suara Aqilah membuat aku tersentak, aku mengangguk. Dan tanpa aku berikan pun Aqilah mengambilnya dari tanganku, ia membaca kemudian matanya mulai berkaca-kaca.
Aqilah memberikan kertas itu padaku, dan pergi menuju mobilnya.
                                               
***

Selepas Shubuh, seperti biasa setelah tilawah aku sharing dengan Nizar, aku rasa Nizar cukup tau tentang perempuan itu dan Aqilah.“Aku juga bingung Dan, aku juga tak ingin melihat Aqilah selalu menangis setiap membaca puisi-puisi itu”
Hanya itu yang mampu Nizar katakan setelah membaca puisi yang kemarin aku temukan lagi.
Aku kembali kekamar, aku mengambil sobekan kertas dengan bait puisi itu yang hampir satu buku. Awalnya aku pikir sampah, tapi aku tertarik dengan tulisan rapihnya. Setelah aku baca, akupun jatuh cinta.
Aku membuka lembar pertama saat aku mulai kerja disana, dan mungkin sebelum ini masih banyak puisinya. Tapi pasti berakhir di tong sampah.
Padahal aku belum sempat bertanya,
Bisakah hujan menahan pelanginya untuk tetap mewarnai gelapnya..
Atau paling tidak menghiasi birunya langit..
Sedang aku,
Aku terlalu takut dengan suara guruh itu..
Dengan kilatnya,
Petir!!! Kembalikan pelangi itu, datangkan hujan musim ini,
Biar dedaunan bergelayut mesra..
Tidakkah kau ingin melihat mereka tumbuh dan mewarnai bumi ini dengan hijaunya??

Jujur, aku bingung dengan apa maksud bait-bait puisi itu. Ketika dikampus aku tanyakan pada Aqilah, tapi ia bertanya siapa yang menulisnya. Ketika aku jawab sejujurnya Aqilah malah menangis, dan minta kalau aku menemukan bait puisi perempuan itu lagi agar memberitahunya.
***
“...Aku ingin seperti matahari,
Tapi mungkinkah?
Sedangkan aku tak ada bedanya seperti  bulan yang bergantung pada matahari..”
 “Kau salah jika kau menempatkan posisimu sebagai bulan,  kau bahkan mampu bersinar sendiri” bisik ku pelan.
Aku masih terdiam dikamarku, memikirkan puisi kemarin.
Dia salah kalau dia merasa tak pernah istimewa, bahkan dengan adanya dia sekarang, dia lebih dari sekedar istimewa.
“Qil, belum siap-siap?”
Sebuah suara mengagetkan aku. Aku diam. Di depan pintu Anisah nampak mengkhawatirkan aku, anisah adalah kakak perempuanku, dia anak pertama. Dia bekerja disebuah kantor didaerah senayan. Dan karena keegoisannya tak mau meneruskan restoran keluarga kami, aku harus mengalah untuk mengorbankan kuliyah masterku. Siang aku kuliyah, sementara malam aku mengawas restoran dan menerima laporan keuangan. Selebihnya, jika sedang tidak ada jam kuliyah, aku habiskan waktu disitu juga. Duniaku hanya sebatas kampus dan resto.
Aku bukan anak kedua, ada lagi kakakku. Kami tiga bersaudara dan aku bungsu.
Kakaku yang kedua perempuan juga, namanya Amirah. Diantara kami bertiga, Amirahlah yang paling pintar dia juga cantik. Dia berjilbab, aku pun juga tapi tak selebar jilbabnya. sedang Anisah, dia pekerja kantoran, yang sangat modis, ia dan Amirah ibarat Dunia dan Akhirat, hehe. Amirah meskipun cerdas, dia pun tak bisa diharapkan menjadi penerus restoran. Bayangkan bagaimana jika atasannya otoriter, terlalu tegas, dan nyaris tak pernah senyum, apa lagi pada laki-laki. Kesibukan Amirah dibelakang layar laptop dan komputer, yaitu menulis.
Oya, walaupun kami kakak beradik, dikeluarga kami tidak memandang adik dan kakak. karena jarak kami hanya terpaut masing-masing satu setengah tahun. Jadi jika berjalan bersama, kami seperti sahabat seangkatan. Tapi, berjalan bersama? Bahkan kami tak pernah akrab satu sama lain, kehidupan priadi kami semua terkunci. Anisah, Amirah dan Aku hanya bicara sewajarnya dan sebutuhnya.
“hey! Malah ngelamun! Mobilku nggak bisa keluar kehalang mobilmu”
Kembali Anisah membuyarkan lamunanku. Tanpa menjawab akupun bangkit dan menuju garasi di bawah. Aku berpapasan dengan Amirah yang hendak mengeluarkan motor maticnya, dia tidak pakai mobil dan dia menolak ketika Ayah dulu akan membelikannya mobil, karena dia pikir tiga mobil dirumah kami sudah sangat banyak, memang banyak sampai kadang menimbulkan cekcok kecil ketika salah satu diantara kami tak bisa keluar karena terhalang, seperti pagi ini. Sedang pembantu, kami tak punya. Setahun lalu kami memutuskan untuk mandiri.
“Qil, kemarin Bunda kirim surat buat kamu. Aku taruh diatas meja kamarmu, sudah dibaca?” tanya Amirah.
Aku diam cukup lama, untuk ukuran seorang Amirah. Pertanyaan tadi cukup mempunyai kalimat yang panjang.
“belum, semalam aku pulang larut. Ia nanti aku baca” jawabku sambil memberikan senyum.
Tapi Amirah tak menanggapinya dan berlalu. Amirah taukah kamu? Aku ingin bicara denganmu.
Siangnya aku hanya diam dikelas, sementara dengan sadar sepenuhnya aku lihat seseorang diam-diam memperhatikanku. Aku tau dia pasti ingin bertanya tentang puisi kemarin.
Namanya Wildan, meski kami satu tingkat, tapi usianya dua tahun lebih tua dari ku, yah! Dikelas ini hanya aku yang paling muda dua tahun. Karena Bundaku dulu yang menuntut anak-anaknya sekolah sebelum usianya, jadi kami nyaris tak punya waktu bermain. Kami sibuk dengan les ini dan itu, dan aku sadar itulah yang mempengaruhi renggangnya hubungan kami sebagai kakak beradik. Kamipun tak begitu dekat dengan Ayah dan Bunda, kecuali Amirah. Karena otaknya yang pintar, ia tak perlu ikut les dan privat. Ia bisa belajar sendiri, jadi ia lebih dekat dengan Ayah dan Bunda.
Aku sedang membicarakan Wildan, yang aku ketahui Wildan adalah laki-laki yang baik dan pintar. Ia kuliyah master inipun dengan beasiswa. Dan dia sangat mandiri, Sampai dia rela bekerja sebagai pelayan di restoranku. Dari cerita Nizar yang juga teman satu kost nya, dia murni kuliyah sampai S2 ini dengan usahanya sendiri.
Aku menoleh kebangku Wildan, dan dengan ekspresinya Wildan langsung menunduk. Sepertinya dia sadar kalau aku tau dia perhatikan.
“aku tak sempat bicara dengan Amirah” kataku pada Wildan yang menunduk seolah tak memperhatikanku sejak tadi.
“maaf Aqilah” katanya lirih.
Aku melangkah kebangkunya dan mengambil duduk disampingnya.
“Amirah dulu orang yang ceria, tapi malaikat tak cuma membawa Ayah, Dia juga membawa keceriaan Amirah. Dia perempuan yang penuh kebahagiaan seperti namanya, tapi kebahagiaannya telah dia gunakan sebagai tinta untuk menulis puisi-puisinya, sehingga perlahan dia habis”

                                                                                                                ***                                
Aku tersentak ketika Aqilah tahu bahwa aku mengawasinya. Dan lebih tersentaknya lagi, kini aku tahu penyebab diamnya perempuan itu. Perempuan yang barusan kudengar bernama Amirah.
Aku memang satu kelas dengan Aqilah, tapi kami tak begitu dekat, karena bagaimanapun ada pilar suci yang menjaga kami. Aku laki-laki dan dia perempuan.
“Amirah dulu orang yang ceria, tapi malaikat tak cuma membawa Ayah, Dia juga membawa keceriaan Amirah. Dia perempuan yang penuh kebahagiaan seperti namanya, tapi kebahagiaannya telah dia gunakan sebagai tinta untuk menulis puisi-puisinya, sehingga perlahan dia habis” tutur Aqilah kembali dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah meninggal satu tahun lalu, diantara kami memang Amirah yang paling dekat dengan Ayah dan Bunda. Ayah meninggal ketika hendak menghadiri wisuda Amirah” “saat itu Ayah baru pulang dari Turki, ia baru mengunjungi calon universitas dimana nanti Amirah menempuh S3nya. Dari bandara Ayah langsung ke gedung dimana Wisuda berlangsung, tapi mungkin Ayah terlalu lelah hingga...”
Aqilah tak mampu lagi meneruskan kata-katanya.
“setelah Ayah meninggal, Bunda memutuskan tinggal di Aceh, di kampung halaman mereka, dimana Ayah istirahat untuk terakhir kalinya. Sementara kami tetap di Jakarta, karena beberapa hal. Aku yang meneruskan usaha Ayah,  Anisah yang baru diterima kerja dan baru saja menandatangani kontrak selama 6 tahun. Kamipun sibuk dengan urusan masing-masing, karena sebelumnya kami memang tak pernah akrab. Dan saat itu kami jarang bertemu satu sama lain, kami memang satu rumah dan tidur satu atap. Tapi kami hanya tidur, dan mungkin berinteraksi ketika mobil tak bisa keluar, itupun hanya aku dan Anisah karena Amirah mengendarai motor, jadi otomatis aku tak pernah bicara dengannya selama satu tahun. Dan soal Amirah yang duduk dibangku itu tiap sore..” Aqilah menghela nafas, ia tak mampu lagi meneruskan kata-katanya.
Ia benar-benar menangis.
“maaf Dan, lain kali kita bicara”
Katanya sambil berlalu.
Aku masih mematung, aku bisa merasakan seperti apa perasaan Aqilah. Tidak, aku justru sedang merasakan apa yang dirasakan Amirah.
Hari ini aku berangkat agak sore ke restoran keluarga Aqilah, aku sudah izin sebelumnya. Tadi motorku mogok. Dan aku.. aku berpapasan dengan perempuan itu. Ia hendak keluar, sementara aku masuk. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya. Dan ini untuk kali pertama aku melihat wajahnya, dia.. Subhanallah, Maha Besar Allah yang menciptakan makhluk seindah dia.
Aku menyadari bahwa aku benar-benar jatuh cinta, maka dari itu aku menundukkan mataku. Aku tahu itu tak mungkin, meskipun tak ada yang tak mungkin untuk Pencipta Cinta.
Aku menyadari sesuatu, dan aku segera masuk menuju kursi yang biasa dia pakai.
Langkahku terhenti, karena disana ada Aqilah yang sudah membaca bait puisi Amirah. Aqilah seperti mengerti, ia memberikan sobekan kertas itu padaku dengan senyumnya, ragu-ragu akupun menerimanya.
Setidaknya, dulu waktu Ayah sakit selalu ada Bunda disisinya..
Ada orang yang dia sayangi dan menyayanginya..
Tak begini,
Berkawan dengan sepi, digerogoti oleh kerinduan..
Dan setidaknya, hanya beliaulah laki-laki yang kami yakini menyayangi kami sepenuhnya dengan terang-terangan...
Menerima dan membimbing kami...

 “ditempat ini, dulu sepulang kuliyah Amirah sering duduk disini ditemani oleh Ayah. Ia membaca buku dan Ayah membaca majalah. Kegiatan itu berlangsung dari pertama kali Restoran ini berdiri. Waktu itu Amirah SMA, dia yang sering kesini karena dia tak perlu ikut les dan privat” “jadi kalau setiap sore dia disini, aku cukup tahu alasannya. Itupun aku tahu dari Pak Aiman”
Aqilah mulai bercerita lagi, Pak Aiman adalah juru masak kepercayaan restoran ini. Ia memang sudah tak bekerja, tapi ia sesekali kesini membimbing para karyawan. Dia bekerja disini dari pertama restoran ini berdiri.
“Aqilah, tidak usah dipaksakan bercerita kalau kamu tidak mampu menceritakan” kataku dengan berhati-hati.
Aqilah memandangku sesaat “kamu yang memperhatikannya Dan, kalau aku ada diposisimu aku juga penasaran. Lagi pula aku pikir tak ada yang salah menceritakan padamu” “karena dari puisi yang kamu temukan itu, aku jadi tahu alasan kenapa Amirah tak mau melanjutkan Retoran ini. Dulu aku sangat membencinya, karena aku harus mengorbankan waktuku untuk restoran ini, wajar jika dia merasa sangat kehilangan”
Aku hanya mampu diam, aku paling tak tega melihat perempuan menangis.
“dan aku tiba-tiba merasakan begitu merindukan Ayah, aku bahkan belum menganalnya secara utuh. Kalau Amirah begitu terpuruk, bukankah begitu mengagumkan sosoknya Dan?”
Kali ini Aqilah mengajakku berinteraksi dengan pertanyaannya. Aku hanya bisa menunduk, tak mampu melihatnya. Bagaimanapun aku masih menghargainya sebagai atasan disini.
“aku jatuh cinta pada sosok yang sudah tiada”
“Aqilah..” kali ini aku beranikan memanggil namanya.
Aqilah menoleh.
“Amal yang tidak terputus ketika seseorang meninggal salah satunya adalah do’a anak yang sholih dan sholihah”
“apa hanya berdo’a yang bisa aku lakukan Dan? Jadi puisi-puisi Amirah tak mungkin sampai? Kenapa Amirah tetap menulisnya?” “kamu tahu siapa matahari, pelangi, pagi, dan apapun yang menghilang yang dia maksud dipuisinya? Dia adalah Ayah Dan”
Aku tersentak, yah! Makna puisi itu, aku semakin tahu..
·  Pagiku benar-benar hilang..
Sementara aku baru juga bangun..
Senja seperti inikah yang membawanya pergi?
Aku ingin jemput pagi itu..
Tapi aku harus melewati malam yang kelam, dan aku belum punya cahaya apapun untuk berjalan menembusnya

·  Aku ingin menangis,
Tapi aku sadar tangisku tak akan mampu menebus rinduku..
Lalu untuk apa aku menangis?
Meskipun tangisku tak terdengar dan tak terlihat.
Bahkan mungkin tak disadari oleh siapapun,
Tapi aku tau itu sia-sia..
Maka biarkan air mataku cair dalam diam..
Aku terlalu rindu,
Tapi aku sendiri belum siap untuk menebus rindunya..

Aku, entah kenapa semenjak mengetahui semua dari Aqila jadi banyak diam. Aku seperti larut dalam perasaan Amirah, padahal iapun belum pernah bicara padaku. Seperti saat ini, aku bahkan tak tau kenapa tiba-tiba langkah kaki membawaku untuk ketoko buku dekat kampus. Padahal aku tak berniat kesini. Akupun hanya diam mematung di kursi baca sambil membolak-balik buku yang sudah dari dua jam tadi aku pegang.
“maaf permisi”
Sebuah suara mengagetkanku. Laki-laki dengan seragam toko itu menghampiriku. Sepertinya ia sudah dari tadi memperhatikan aku.
“kak, mau beli bukunya? Kebetulan ada penulisnya, mungkin mau minta tanda tangan”
Aku hanya tersenyum dan menggeleng, aku bukan orang seperti itu yang rela antri untuk sebuah tanda tangan yang tidak begitu penting. Laki-laki itupun meninggalkan aku, padahal aku membaca bukunya saja tidak.
“sombong banget sih! Baru juga jadi penulis!”
Tiba-tiba seorang gadis ABG ngomel-ngomel disampingku.
“emang kenapa?” tanya teman gadis itu yang dari tadi asyik membaca.
“masak gue minta tanda tangan dia, eh dia tanya buat apa? Ya udah gue jawab kan ini buku dia” “eh, dianya dengan enteng bilang jangan mengorbankan waktu untuk sesuatu yang tidak penting, tanda tangan penulis tak ada apa-apanya dibandingkan isinya! Niat nggak sih dia nulis!” omel gadis itu sambil melemparkan buku di meja. temannya pun menarik tangannya keluar, karena banyak orang melihatnya.
Aku diam, aku membenarkan apa yang dikatakan penulisnya itu, bagiku dia penulis yang unik dan benar-benar ingin menyampaikan apa yang dia tulis. Akupun melirik buku yang dilempar gadis tadi, disampulnya terpampang besar judulnya ‘TITIP RINDU BUAT AYAH’ dan! Aku kaget melihat siapa yang menulis ‘Amirah Abdijayatama’ akhir-akhir ini telingaku akrab dengan nama depan itu ‘Amirah’ dan ‘Abdijayatama’?! nama itu akrab sekali ditelingaku dengan nama depan ‘Aqilah’ itu artinya?
Aku menoleh kebelakang, tapi tempat yang ditunjuk laki-laki tadi sudah kosong. Laki-laki tadi? Aku melihat buku yang aku pegang, buku yang sama dengan yang dilempar gadis ABG tadi. Akupun melangkah mencari laki-laki tadi, dan ketika aku tanya perihal penulisnya dia bilang sudah pergi, karena dia hanya membeli beberapa buku.
Aku membeli buku itu dan melangkah keluar, mataku langsung tertuju pada sosok yang sedang duduk di halte bus. Entah kenapa tanpa ragu aku melangkah mendekatinya. Tapi dia justru asik dengan diamnya, matanya memandang lurus kejalan.
Pada akhirnya dia menoleh juga, tapi aku malah jadi kelimpungan dan memandang kejalan. Dan begitu terjadi berkali-kali. Sampai akhirnya untuk pertama kali aku mendengar dia bicara.
“Qur’an Surah an-Nur ayat 30” Katanya sambil berlalu pergi.
Katakanlah kepada laki-laki beriman, agar mereka menjaga pandangannya....
Sedang aku? Aku masih mematung, lalu cepat saja aku beristighfar. Aqilah benar, dia tidak banyak bicara. Bahkan untuk sekedar menegur, apa memang dia tidak mengenali aku?

***
Pagi seperti biasa, aku ceritakan semua pada Nizar. Karena sedikit banyaknya Nizar tahu tentang keluarga Abdijayatama, karena dulu Nizar teman satu sekolah, satu les, dan sepermainan dengan Anisah. Meski ketiga saudara itu tak akrab, tapi Aqilah mengenali Nizar dan teman-temannya.
“Om Tama memang orang yang baik” katanya lirih “maaf Dan, aku sebenarnya tahu tentang Amirah tapi tak sopan kalau aku yang menceritakannya”
Aku sedikit kaget dengan apa yang Nizar katakan, tapi kemudian memakluminya.
Hari ini seperti biasa, sepulang kuliyah aku kerja. Dan hari ini untuk pertama kalinya semenjak kerja disini aku tidak mengamati Amirah lagi, sebisa mungkin aku tidak menoleh kearah taman karena bila aku menoleh maka aku hanya akan terpaku diam. Aku masih malu dengannya, kemarin untuk pertama kalinya aku mendengar suaranya dan aku langsung dibuat malu. Tiba-tiba aku merasa tak pantas mengaguminya, dia terlalu hebat untuk aku kagumi dan aku impikan.
Tapi tiba-tiba sebuah tangan memberikan selembar kertas. Dia Aqilah.
“aku pikir kau terlalu sibuk dan lupa dengan ritualmu” katanya tanpa menoleh ke arah ku.
“ritual?”
“iya, ritual membaca puisi kakakku”
Aku menerima kertas itu “Aqilah, kau sudah tau kalau ia punya buku?”
Aqilah mengrutkan keningnya “maksudmu? Bukunya terbit?”
Aku mengangguk, dan aku menceritakan peristiwa di toko buku kemarin tapi tentu saja tidak sampai halte, karena itu aib buatku.
“itu justru akan menjadi citra buruk baginya” keluh Aqilah.
“tapi aku rasa yang dia katakan benar”
“tergantung dari sisi mana kamu melihatnya”
“maksudmu?”
“tanda tangan itu artinya kita menghargai dia sebagai penulis, kita mengagumi yang dia tulis”
“bahkan gadis itu belum sempat membacanya”
“dari mana kau tahu”
“dari buku yang masih bagus dan harga yang masih tertempel”
“kalau begitu sudut pandangmu benar” sejenak Aqilah diam “puisinya pun mendadak aneh” kata Aqilah
“aneh?” tanyaku tak mengerti.
Aqilah melirik pada kertas yang tadi ia berikan padaku, akupun mengerti dan segera membacanya.
Mata itu..
Akhirnya aku bicara pada pemilik mata itu,
Mata yang tatapannya sama
Seperti ketika Ayah memandang Bunda yang sedang memasak.

Mata itu..
Kali ini untuk pertama aku tak melihatnya,
Aku bahagia, tapi kecewa...
Kalau boleh aku bertanya,
Apa maksud kedua mata..
Aku tak butuh itu,
Aku hanya butuh keberanian
Keberanian tentang apa yang tersimpan..

Aku membelalakkan mataku begitu melihat puisi Amirah hari ini, bagiku ini bukan puisi tapi..
“sepertinya dia jatuh cinta, tapi entah pada siapa” kata Aqilah.
Aku hanya diam, jatuh cinta? Mata? Dan.. apakah ada orang lain yang memperhatikannya selain aku? Atau itu memang aku? Kemarin dia bicara denganku..
Aku kembali sadar bahwa aku tengah ditipu daya oleh puisi ini, aku pun cepat berIstighfar. Mendengarnya Aqilah pun langsung menoleh.
“kenapa?” tanyanya khawatir.
“tidak, Aqilah maaf, aku harus kembali kerja. Permisi”
Aku meninggalkan Amirah, sebisa mungkin aku harap hatiku tidak berbunga-bunga. Karena aku masih sangat malu dengan kejadian dihalte kemarin.
Sepulang kerja, aku berjalan menembus malam. Kost ku tidak jauh dari restoran keluarga Aqilah jadi aku cukup jalan kaki. Tapi kemudian mataku tertumpu pada gadis dengan jilbab lebarnya yang sedang menuntun motornya. Aku tahu itu siapa, aku melirik jam tangan, hampir setengah satu malam dan tentu tidak ada bengkel yang buka jam segini. Dia melewatiku, tentu saja tanpa memandangnya.
“A-Amirah”
Terbata-bata aku panggil dia juga, aku tidak tega melihat seorang perempuan menderita. Dia berhenti menoleh kearahku sekilas. Akupun medekatinya.
“maaf, maksudku mbak Amirah. Motornya kenapa?” tanyaku basa-basi.
Dia melirik kearah ban “bocor” jawaban yang singkat.
“mbak, saya karyawan direstoran keluarga mbak” kataku sambil menunjukkan identitas karyawan “kalau mbak mau mbak bisa pakai motor saya, kebetulan kost saya tidak jauh dari sini. Karena kalau cari bengkel sangat tidak mungkin, ini sudah larut malam” kataku menawarkan.
Dia hanya diam, ragu-ragu. Aku tak yakin apa dia benar-benar tidak mengenaliku setelah kejadian di halte kemarin.
“besok sebelum mbak kerja saya antar motor mbak, kebetulan saya pernah mengantar Aqilah dulu” kataku meyakinkan.
Dia pun mengiyakan, dia mempersilahkan aku berjalan di depan sedang dia mengikuti dibelakang. Aku merasa tak enak hati sekaligus kasihan, dan menawarkan menuntun motornya.

***
Pagi itu setelah memundurkan mobilku sebelum Anisah meminta aku kaget karena ada motor Wildan dibagasi rumah kami dan lebih kaget karena motor Amirah tidak ada. Apa Amirah yang memakai motor Wildan? Dari mana mereka kenal?  apa mereka sudah saling kenal? karena sebenarnya Wildan dulu ingin masuk sastra, tapi karena bisnis Ayahnya yang harus ia lanjutkan terpaksa ia kuliyah tidak di jurusan yang dia inginkan. Apa mereka? Ah.. aku segera menepis fikiran macam-macamku, lagi pula aku tahu siapa Amirah dan Wildan. Kalau mereka saling kenal, lalu untuk apa Wildan sering bertanya tentang Amirah.
“Ami, itu motor Wildan kamu yang pakai?”
Tanyaku begitu sampai didalam rumah dan melihat Amirah tengah sarapan siap hendak kerja dengan baju serba hitam, atau mau takziah?.
“Wildan yang ganteng itu ya?” sahut Anisah yang turun dari tangga dan merapihkan dandanannya.
“iya” jawabku singkat.
Anisah pun berhenti dan melihat ke arah Amirah dengan penuh tanda tanya.
“ motorku bocor ban semalam”
Amirah menjawab dengan singkatnya, dan segera berdiri begitu ada suara bel dari luar. Tanpa diminta aku dan Anisah mengikutinya.
Dia Wildan yang mengantar motor Amirah. Wildan menyapa aku dan Anisah yang masih terbengong penuh tanya.
“terimakasih” ucap Amirah.
Dan untuk pertama kalinya aku melihat Amirah tersenyum pada laki-laki. Mereka seperti akrab sekali, apa mungkin yang aku fikirkan tadi benar? Tiba-tiba sisi hatiku begitu sesak, bahkan aku ingin menangis. Amirah langsung pergi dengan motornya, sementara Wildan masih mematung di pagar. Ia melihatku dan Anisah, meminta izin mengambil motornya.
“ambil saja” kataku ketus, aku langsung lari kekamar.
Sampai di kamar akhirnya tangis ku pecah, aku menangis untuk hal yang sulit aku tahu.
Aku masih ingat ketika aku dan Wildan baru masuk kuliyah dulu. Entah takdir atau apa namanya, sejak masih kuliyah strata satu aku dan Wildan selalu satu kelas, bahkan ketika ospek dulu kamipun satu kelompok. Aku memang tak begitu akrab dengannya, karena Wildan membatasi pergaulannya dengan perempuan, tapi aku bisa jamin akulah perempuan yang paling akrab dengan Wildan di kampus. Wildan pula yang dulu menasehatiku untuk memakai jilbab, meskipun tak sempurna seperti jilbab yang dia bilang.
Aku berhenti dari tangisku, aku? Mungkinkah aku jatuh cinta?
Pintu kamarku di buka, Anisah yang sudah siap dengan baju kerjanya menghampiriku.
“kau mencintainya?” tanya Anisah hati- hati.
Jujur, kami tidak pernah sedekat ini dulu. Bahkan ketika Anisah ditolak cintanya oleh Nizar dan bersedih, kami tak pernah saling menghibur apa lagi bertegur sapa.
“aku tidak tahu, aku terlalu dekat meskipun jauh” jawabku lemah.
Anisah membelai jilbabku, “pertama kali aku kenal, dulu ketika dia mengantarmu pulang karena mobilmu dipakai Ayah. Tanpa sengaja aku melihat dari jendela kamar, kau begitu bahagia dan aku tau” “kau bahkan tak menyadari perasaanmu”
“kami sudah bersama sejak masuk kuliyah, dan secara kebetulan kami selalu satu kelas”
“aku pernah merasakan sakit seperti itu” tutur Anisah pelan.
“Isa, dulu waktu kau sakit seperti ini, bahkan aku tak menegurmu” kataku hati-hati.
Anisah tersenyum, tapi aku tau dibalik senyumnya ada kesedihan “setelah Ayah meninggal dan Bunda kembali ke Aceh, aku baru sadar bahwa rumah ini terlalu besar terlalu sepi dengan kita bertiga dan kesibukan kita masing-masing” “aku bahkan tak bisa lagi melihat bunda yang sering memasak saat aku pulang, dan dengan berisiknya Amirah bercerita tentang hari-harinya ke Bunda tanpa mempedulikan kesibukannya, Atau Ayah yang berebut remot TV dengan Amirah. Aku rindu Qila, dan aku sadar aku butuh itu. Kita ini keluarga tapi bukan keluarga” tutur Anisah.
Air matanya pun tak dapat di bendung, aku memeluknya. Yah, akupun mulai menyadari semua. Aku merindukan keluarga yang sebenarnya.
“Setidaknya, dulu waktu Ayah sakit selalu ada Bunda disisinya, Ada orang yang dia sayangi dan menyayanginya..” “Tak begini, Berkawan dengan sepi, digerogoti oleh kerinduan.. Dan setidaknya, hanya beliaulah laki-laki yang kami yakini menyayangi kami sepenuhnya dengan terang-terangan. Menerima dan membimbing kami...” kataku mengingat puisi Amirah.
Anisah melepas pelukannya dan memandangku.
“itu puisi Amirah” kataku lirih.
Aku pun menceritakan semua pada Anisah. Tentang kebiasaan Amirah yang selalu diperhatikan Wildan.
“apa mungkin itu alasan Amirah tak mau meneruskan memimpin restoran?”
Aku mengangguk.
“dulu aku mengira dia sangat keterlaluan padamu” kata Anisah yang nampak menyesal.
“aku pun begitu. Tapi setidaknya dia sudah mencintai Ayah sejak lama, tidak seperti kita” kataku lemah.
Kami lama diam, tapi kemudian kami mendengar suara isakan di luar kamarku. Aku dan Anisah pun membuka pintunya pelan-pelan. Dan kami begitu terkejut melihat Amirah yang duduk dilantai menutupi kedua mukanya, ia menangis dan meghambur memeluk kami.
“Ayah selalu meridukan moment ini, moment dimana kita bisa sadar kalau kita keluarga” katanya lirih.
Jadilah hari itu kami tidak kemana-mana. Anisah yang sudah siap mendadak izin mengatakan ada urusan keluarga, Amirah yang ditengah jalan putar balik karena handphonenya ketinggalan pun tak jadi pergi. Sementara aku, masih dengan baju tidur dan tak bersiap pergi kuliyah.
“aku juga sempat membenci kalian yang tak pernah merasa kehilangan Ayah, dan tak mempedulikan perasaan Bunda” kata Amirah memecah sunyi. “Anisah, aku sengaja menulis puisi-puisi itu agar kau baca. Dan aku minta maaf, surat-surat dari Bunda untuk kalian itu aku yang menulis”
Aku dan Anisah kaget, tapi kami bisa memaklumi.
“aku berharap, kalian cepat menyadari perhatian Bunda sebelum menyesal kedua kalinya. Dulu Ayah selalu ingin makan semeja, tapi itu tak pernah bisa karena kalian sibuk. Tapi Ayah begitu mencintai kalian, bahkan ketika aku berdua dengannya kalianlah yang dibicarakan” kata Amirah menunduk lesu.
Anisah memeluk aku dan Amirah kembali “selama ini aku tak tahu apa yang aku pikirkan, aku sangat keterlaluan pada kalian” katanya sambil melepas pelukan.
“akupun begitu, aku terlalu cuek pada kalian sampai akhirnya aku menyesal setelah Ayah pergi. Karena aku tidak pernah menyampaikan apa yang Ayah rasakan” kata Amirah.
“aku juga, kita sama-sama keterlaluan tapi setidaknya masih ada waktu untuk memperbaiki semua. Aku percaya Ayah melihat kita di Syurga” kataku lirih.
Kami kembali diam, tapi suasana hening dikacaukan dengan suara handphoneku. Aku mengambilnya dan terkejut melihat siapa yang menelpon. Aku menunjukkan pada Anisah tanpa mengangkat panggilan, Anisah melihatku. Panggilan pun berhenti. Tapi ketika Amirah hendak berbicara, aku rasa menjelaskan perihal Wildan karena dia menyebut nama Wildan, handphone kembali berbunyi dan dia memberi isyarat untuk mengangkat.
“Assalamuu’alaikum” sapaku
“Wa’alaikumsalam” suara diseberang panik.
Tiba-tiba aku memikirkan Wildan, kenapa tiba-tiba Nizar menelponku?
“Qila! Kamu dimana?!” tanyanya ngosngosan seperti sedang berlari.
“dirumah, kenapa?” aku mengerutkan kening, aku ikut panik.
“Qila, kerumah sakit sekarang Qil aku mohon! Wildan! Wildan Qil..”
“kenapa Wildan?!” tanya ku semakin panik, Anisah dan Amirah pun melihatku.
“Qil kerumah sakit dekan kost cepat! Keruang ICU! Cepat Qil!”
Tut.. tut.. telpon terputus, dan aku mematung tanpa aku sadari handphone ku terlepas.
“kenapa Qil?!” tanya Amirah dan Anisah bersamaan.
“sesuatu pasti terjadi pada Wildan! Ayo kita kesana!”
Aku langsung mengambil kunci mobil ku. kami bertiga menuju rumah sakit, Anisah mengemudikan mobil sementara aku sangat panik.. Amirah duduk di belakang dan ia nampak tengah berdo’a.
Aku langsung berlari keruang ICU menemui Nizar, sejenak Nizar kaget kami datang bertiga aku tahu karena kami tak pernah berjalan bertiga.
“Nizar, kenapa Wildan?!” tanyaku panik.
“Qil, tadi pagi setelah mengantar motor Amirah Wildan nampak sedih, dia bilang kamu marah padanya”
Aku diam. Iya, tadi aku marah karena aku rasa aku berhak marah.
“aku tidak tahu bagaimana kejadiannya, ketika aku hendak berangkat kerja salah satu teman kost teriak..”
Nizar menangis tak mampu melanjutkan kata-katanya.
“Wildan, jatuh dari lantai dua. Dan tak ada yang tahu” katanya terisak.
Aku diam.. Wildan.. tubuhku kehilangan keseimbangan.

***

Inilah akhir yang selalu aku takuti, aku tau sesuatu pasti terjadi. Entah firasat apa yang menuntunku tiba-tiba ingin sekali memakai baju hitam ketika menemui dia tadi pagi. Tadinya aku berfikir bahwa aku tidak ingin terlihat mencolok, bahkan warna coklat yang sangat aku sukaipun aku abaikan. Layaknya Aqilah, aku sadar aku telah jatuh cinta padanya. Aku tahu dia sering membaca puisi-puisiku, aku tahu dia hendak menyapaku waktu dihalte tapi dia takut aku tak mengenalnya, aku tahu dia laki-laki yang baik, dan aku tahu ketulusannya.
Hari ini, tepat ketika Aqilah sadar dari pingsannya dia menghembuskan nafas terakhir. Dia banyak mengeluarkan darah, dan tak tertolong lagi. Aqilah yang masih mengenakan baju tidur menangis sejadinya di dekat batu nisan, aku tahu sakitnya seperti apa. Seperti saat aku kehilangan Ayah, karena aku begitu mencintai beliau.
Anisah memeluk Aqilah, dan kami meninggalkan makam. Sampai dirumah Aqilah pun masih diam.
“Qila, kamu jatuh cinta pada orang yang tidak salah. Dia orang yang baik meskipun aku baru mengenalnya. Dia juga pasti bahagia dicintai perempuan yang juga tulus sepertimu, do’a Qil yang dia butuhkan bukan air matamu” kataku hati-hati sambil mengusap air matanya.
Qila memegang tanganku “dia juga bahagia dicintai orang sepertimu, kamu kira aku tidak tahu puisi terakhirmu bukan lagi untuk ku? Sekarang aku tahu bagai mana rasanya menjadi Ami dulu” katanya sambil memaksa senyum.
Aku memeluknya, meskipun aku mencintai laki-laki yang bernama Wildan itu, tapi aku lebih mencintai Aqilah dan Anisah.
“malam itu ban ku bocor, dan kami bertemu dijalan. Dia memperkenalkan dirinya dan menawariku untuk membawa motornya karena sangat tidak mungkin mencari tukang tambal ban dimalam hari”
Aqilah kini memelukku sangat erat “bodohnya aku! Aku memikir jauh dari itu, aku marah karena mengira kalian sudah saling kenal”
Aku melepas pelukan Aqilah “bahkan seandainya dia masih hidup, aku rela dia menjadi milikmu Qila. Aku lebih mencintaimu dari pada dia”
“akupun begitu, bertahun-tahun kita tak menyadari itu apa kau fikir aku akan menahannya untuk ku? Kau lebih berhak memilikinya, karena sepertinya dia pun mencintaimu”
Anisah menghambur memeluk kami, ia menangis tapi ia bilang dia tidak tahu harus bahagia atau sedih.
“kita harus segera ke Aceh, kita bawa Bunda kembali menikmati keluarga yang sesungguhnya”
Sore itu,
 Biarkan gelap kali ini bercerita,
Bagaimana senja secara sengaja memakan siangnya..
Dan apa kau lihat?
Dua orang laki-laki yang berkenalan..
Laki-laki muda itu menyampaikan rindu dari ketiga putrinya..
Kau lihat?
Mereka sangat akrab meski di dimensi dulu tak saling kenal,
Rindu itu telah tersampaikan,
Seseorang menebusnya, ketika aku merasa belum siap menyampaikannya..


~*SELESAI*~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar