Namaku Wildan, aku Mahasiswa sekaligus karyawan. Bukan
karyawan kantor, melainkan pelayan di sebuah restoran milik keluarga Aqilah,
teman satu kuliyahku. aku bisa kerja disitu karena sekarang dialah yang
memimpin restoran itu.
Aku suka dengan nuansa restoran milik keluarga Aqilah, yang
tersedia taman bermain kecil untuk anak-anak dan beberapa bunga, yang disetiap
sudutnya tersedia kursi.
Dan disalah satu kursi itu, setiap sore aku bisa
memperhatikan seseorang. Aku hanya tau tentang dia sedikit, tapi aku telah
jatuh cinta padanya. Bukan pada parasnya, tapi pada cara pakaian dan
‘kediamannya’ serta bait puisinya yang selalu membuatku untuk lebih ingin tahu
semuanya.. seperti sore ini, angin menerpa jilbab lebarnya sementara ia sibuk
menulis sesuatu, setelah hampir dua jam lebih dia termenung dan hanya diam,
kemudian merobeknya dan meninggalkannya. Kemudian dia pergi
Biarkan
gelap kali ini bercerita,
Bagaimana
senja secara sengaja memakan siangnya..
Dan
apa kau lihat?
Bahwa
bulan hanya mampu muncul setelah matahari tiada,
Aku
tak menyalahkan bulan, pun tak membencinya..
Aku
hanya ingin dia belajar dari kesetiaan matahari,
Matahari
itu bukan pergi, melainkan pindah untuk menerangi bagian lain..
Aku
lelah!
Aku
ingin seperti matahari,
Tapi
mungkinkah?
Sedangkan
aku tak ada bedanya seperti bulan yang
bergantung pada matahari..
Aku kembali menemukan secarik kertas itu, aku lihat sosok
itu pergi. Perempuan itu?
“Puisi lagi Dan?”
Suara Aqilah membuat aku tersentak, aku mengangguk. Dan
tanpa aku berikan pun Aqilah mengambilnya dari tanganku, ia membaca kemudian
matanya mulai berkaca-kaca.
Aqilah memberikan kertas itu padaku, dan pergi menuju
mobilnya.
***
Selepas Shubuh, seperti biasa setelah tilawah aku sharing
dengan Nizar, aku rasa Nizar cukup tau tentang perempuan itu dan Aqilah.“Aku
juga bingung Dan, aku juga tak ingin melihat Aqilah selalu menangis setiap
membaca puisi-puisi itu”
Hanya itu yang mampu Nizar katakan setelah membaca puisi
yang kemarin aku temukan lagi.
Aku kembali kekamar, aku mengambil sobekan kertas dengan
bait puisi itu yang hampir satu buku. Awalnya aku pikir sampah, tapi aku
tertarik dengan tulisan rapihnya. Setelah aku baca, akupun jatuh cinta.
Aku membuka lembar pertama saat aku mulai kerja disana,
dan mungkin sebelum ini masih banyak puisinya. Tapi pasti berakhir di tong
sampah.
Padahal
aku belum sempat bertanya,
Bisakah
hujan menahan pelanginya untuk tetap mewarnai gelapnya..
Atau
paling tidak menghiasi birunya langit..
Sedang
aku,
Aku
terlalu takut dengan suara guruh itu..
Dengan
kilatnya,
Petir!!!
Kembalikan pelangi itu, datangkan hujan musim ini,
Biar
dedaunan bergelayut mesra..
Tidakkah
kau ingin melihat mereka tumbuh dan mewarnai bumi ini dengan hijaunya??
Jujur, aku bingung dengan apa
maksud bait-bait puisi itu. Ketika dikampus aku tanyakan pada Aqilah, tapi ia
bertanya siapa yang menulisnya. Ketika aku jawab sejujurnya Aqilah malah
menangis, dan minta kalau aku menemukan bait puisi perempuan itu lagi agar
memberitahunya.
***
“...Aku ingin seperti matahari,
Tapi mungkinkah?
Sedangkan aku tak ada bedanya
seperti bulan yang bergantung pada
matahari..”
“Kau salah jika
kau menempatkan posisimu sebagai bulan,
kau bahkan mampu bersinar sendiri” bisik ku pelan.
Aku masih terdiam dikamarku, memikirkan puisi kemarin.
Dia salah kalau dia merasa tak pernah istimewa, bahkan
dengan adanya dia sekarang, dia lebih dari sekedar istimewa.
“Qil, belum siap-siap?”
Sebuah suara mengagetkan aku. Aku diam. Di depan pintu
Anisah nampak mengkhawatirkan aku, anisah adalah kakak perempuanku, dia anak
pertama. Dia bekerja disebuah kantor didaerah senayan. Dan karena keegoisannya
tak mau meneruskan restoran keluarga kami, aku harus mengalah untuk
mengorbankan kuliyah masterku. Siang aku kuliyah, sementara malam aku mengawas
restoran dan menerima laporan keuangan. Selebihnya, jika sedang tidak ada jam
kuliyah, aku habiskan waktu disitu juga. Duniaku hanya sebatas kampus dan
resto.
Aku bukan anak kedua, ada lagi kakakku. Kami tiga
bersaudara dan aku bungsu.
Kakaku yang kedua perempuan juga, namanya Amirah.
Diantara kami bertiga, Amirahlah yang paling pintar dia juga cantik. Dia
berjilbab, aku pun juga tapi tak selebar jilbabnya. sedang Anisah, dia pekerja
kantoran, yang sangat modis, ia dan Amirah ibarat Dunia dan Akhirat, hehe. Amirah
meskipun cerdas, dia pun tak bisa diharapkan menjadi penerus restoran.
Bayangkan bagaimana jika atasannya otoriter, terlalu tegas, dan nyaris tak
pernah senyum, apa lagi pada laki-laki. Kesibukan Amirah dibelakang layar
laptop dan komputer, yaitu menulis.
Oya, walaupun kami kakak beradik, dikeluarga kami tidak
memandang adik dan kakak. karena jarak kami hanya terpaut masing-masing satu
setengah tahun. Jadi jika berjalan bersama, kami seperti sahabat seangkatan.
Tapi, berjalan bersama? Bahkan kami tak pernah akrab satu sama lain, kehidupan
priadi kami semua terkunci. Anisah, Amirah dan Aku hanya bicara sewajarnya dan
sebutuhnya.
“hey! Malah ngelamun! Mobilku nggak bisa keluar kehalang
mobilmu”
Kembali Anisah membuyarkan lamunanku. Tanpa menjawab
akupun bangkit dan menuju garasi di bawah. Aku berpapasan dengan Amirah yang
hendak mengeluarkan motor maticnya, dia tidak pakai mobil dan dia menolak ketika
Ayah dulu akan membelikannya mobil, karena dia pikir tiga mobil dirumah kami
sudah sangat banyak, memang banyak sampai kadang menimbulkan cekcok kecil
ketika salah satu diantara kami tak bisa keluar karena terhalang, seperti pagi
ini. Sedang pembantu, kami tak punya. Setahun lalu kami memutuskan untuk
mandiri.
“Qil, kemarin Bunda kirim surat buat kamu. Aku taruh
diatas meja kamarmu, sudah dibaca?” tanya Amirah.
Aku diam cukup lama, untuk ukuran seorang Amirah.
Pertanyaan tadi cukup mempunyai kalimat yang panjang.
“belum, semalam aku pulang larut. Ia nanti aku baca”
jawabku sambil memberikan senyum.
Tapi Amirah tak menanggapinya dan berlalu. Amirah taukah
kamu? Aku ingin bicara denganmu.
Siangnya aku hanya diam dikelas, sementara dengan sadar
sepenuhnya aku lihat seseorang diam-diam memperhatikanku. Aku tau dia pasti
ingin bertanya tentang puisi kemarin.
Namanya Wildan, meski kami satu tingkat, tapi usianya dua
tahun lebih tua dari ku, yah! Dikelas ini hanya aku yang paling muda dua tahun.
Karena Bundaku dulu yang menuntut anak-anaknya sekolah sebelum usianya, jadi
kami nyaris tak punya waktu bermain. Kami sibuk dengan les ini dan itu, dan aku
sadar itulah yang mempengaruhi renggangnya hubungan kami sebagai kakak beradik.
Kamipun tak begitu dekat dengan Ayah dan Bunda, kecuali Amirah. Karena otaknya
yang pintar, ia tak perlu ikut les dan privat. Ia bisa belajar sendiri, jadi ia
lebih dekat dengan Ayah dan Bunda.
Aku sedang membicarakan Wildan, yang aku ketahui Wildan
adalah laki-laki yang baik dan pintar. Ia kuliyah master inipun dengan beasiswa.
Dan dia sangat mandiri, Sampai dia rela bekerja sebagai pelayan di restoranku.
Dari cerita Nizar yang juga teman satu kost nya, dia murni kuliyah sampai S2
ini dengan usahanya sendiri.
Aku menoleh kebangku Wildan, dan dengan ekspresinya
Wildan langsung menunduk. Sepertinya dia sadar kalau aku tau dia perhatikan.
“aku tak sempat bicara dengan Amirah” kataku pada Wildan
yang menunduk seolah tak memperhatikanku sejak tadi.
“maaf Aqilah” katanya lirih.
Aku melangkah kebangkunya dan mengambil duduk
disampingnya.
“Amirah dulu orang yang ceria, tapi malaikat tak cuma
membawa Ayah, Dia juga membawa keceriaan Amirah. Dia perempuan yang penuh
kebahagiaan seperti namanya, tapi kebahagiaannya telah dia gunakan sebagai
tinta untuk menulis puisi-puisinya, sehingga perlahan dia habis”
***
Aku
tersentak ketika Aqilah tahu bahwa aku mengawasinya. Dan lebih tersentaknya
lagi, kini aku tahu penyebab diamnya perempuan itu. Perempuan yang barusan
kudengar bernama Amirah.
Aku memang
satu kelas dengan Aqilah, tapi kami tak begitu dekat, karena bagaimanapun ada
pilar suci yang menjaga kami. Aku laki-laki dan dia perempuan.
“Amirah dulu orang yang ceria, tapi malaikat tak cuma
membawa Ayah, Dia juga membawa keceriaan Amirah. Dia perempuan yang penuh
kebahagiaan seperti namanya, tapi kebahagiaannya telah dia gunakan sebagai
tinta untuk menulis puisi-puisinya, sehingga perlahan dia habis” tutur Aqilah
kembali dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah meninggal satu tahun lalu, diantara kami memang
Amirah yang paling dekat dengan Ayah dan Bunda. Ayah meninggal ketika hendak
menghadiri wisuda Amirah” “saat itu Ayah baru pulang dari Turki, ia baru
mengunjungi calon universitas dimana nanti Amirah menempuh S3nya. Dari bandara
Ayah langsung ke gedung dimana Wisuda berlangsung, tapi mungkin Ayah terlalu
lelah hingga...”
Aqilah tak mampu lagi meneruskan kata-katanya.
“setelah Ayah meninggal, Bunda memutuskan tinggal di
Aceh, di kampung halaman mereka, dimana Ayah istirahat untuk terakhir kalinya.
Sementara kami tetap di Jakarta, karena beberapa hal. Aku yang meneruskan usaha
Ayah, Anisah yang baru diterima kerja
dan baru saja menandatangani kontrak selama 6 tahun. Kamipun sibuk dengan
urusan masing-masing, karena sebelumnya kami memang tak pernah akrab. Dan saat
itu kami jarang bertemu satu sama lain, kami memang satu rumah dan tidur satu
atap. Tapi kami hanya tidur, dan mungkin berinteraksi ketika mobil tak bisa
keluar, itupun hanya aku dan Anisah karena Amirah mengendarai motor, jadi
otomatis aku tak pernah bicara dengannya selama satu tahun. Dan soal Amirah
yang duduk dibangku itu tiap sore..” Aqilah menghela nafas, ia tak mampu lagi
meneruskan kata-katanya.
Ia benar-benar menangis.
“maaf Dan, lain kali kita bicara”
Katanya sambil berlalu.
Aku masih mematung, aku bisa merasakan seperti apa
perasaan Aqilah. Tidak, aku justru sedang merasakan apa yang dirasakan Amirah.
Hari ini aku berangkat agak sore ke restoran keluarga
Aqilah, aku sudah izin sebelumnya. Tadi motorku mogok. Dan aku.. aku berpapasan
dengan perempuan itu. Ia hendak keluar, sementara aku masuk. Ia menunduk,
menyembunyikan wajahnya. Dan ini untuk kali pertama aku melihat wajahnya, dia..
Subhanallah, Maha Besar Allah yang menciptakan makhluk seindah dia.
Aku menyadari bahwa aku benar-benar jatuh cinta, maka
dari itu aku menundukkan mataku. Aku tahu itu tak mungkin, meskipun tak ada
yang tak mungkin untuk Pencipta Cinta.
Aku menyadari sesuatu, dan aku segera masuk menuju kursi
yang biasa dia pakai.
Langkahku terhenti, karena disana ada Aqilah yang sudah
membaca bait puisi Amirah. Aqilah seperti mengerti, ia memberikan sobekan
kertas itu padaku dengan senyumnya, ragu-ragu akupun menerimanya.
Setidaknya,
dulu waktu Ayah sakit selalu ada Bunda disisinya..
Ada
orang yang dia sayangi dan menyayanginya..
Tak
begini,
Berkawan
dengan sepi, digerogoti oleh kerinduan..
Dan
setidaknya, hanya beliaulah laki-laki yang kami yakini menyayangi kami
sepenuhnya dengan terang-terangan...
Menerima
dan membimbing kami...
“ditempat ini,
dulu sepulang kuliyah Amirah sering duduk disini ditemani oleh Ayah. Ia membaca
buku dan Ayah membaca majalah. Kegiatan itu berlangsung dari pertama kali
Restoran ini berdiri. Waktu itu Amirah SMA, dia yang sering kesini karena dia
tak perlu ikut les dan privat” “jadi kalau setiap sore dia disini, aku cukup
tahu alasannya. Itupun aku tahu dari Pak Aiman”
Aqilah mulai bercerita lagi, Pak Aiman adalah juru masak
kepercayaan restoran ini. Ia memang sudah tak bekerja, tapi ia sesekali kesini
membimbing para karyawan. Dia bekerja disini dari pertama restoran ini berdiri.
“Aqilah, tidak usah dipaksakan bercerita kalau kamu tidak
mampu menceritakan” kataku dengan berhati-hati.
Aqilah memandangku sesaat “kamu yang memperhatikannya
Dan, kalau aku ada diposisimu aku juga penasaran. Lagi pula aku pikir tak ada
yang salah menceritakan padamu” “karena dari puisi yang kamu temukan itu, aku
jadi tahu alasan kenapa Amirah tak mau melanjutkan Retoran ini. Dulu aku sangat
membencinya, karena aku harus mengorbankan waktuku untuk restoran ini, wajar
jika dia merasa sangat kehilangan”
Aku hanya mampu diam, aku paling tak tega melihat
perempuan menangis.
“dan aku tiba-tiba merasakan begitu merindukan Ayah, aku
bahkan belum menganalnya secara utuh. Kalau Amirah begitu terpuruk, bukankah
begitu mengagumkan sosoknya Dan?”
Kali ini Aqilah mengajakku berinteraksi dengan
pertanyaannya. Aku hanya bisa menunduk, tak mampu melihatnya. Bagaimanapun aku
masih menghargainya sebagai atasan disini.
“aku jatuh cinta pada sosok yang sudah tiada”
“Aqilah..” kali ini aku beranikan memanggil namanya.
Aqilah menoleh.
“Amal yang tidak terputus ketika seseorang meninggal
salah satunya adalah do’a anak yang sholih dan sholihah”
“apa hanya berdo’a yang bisa aku lakukan Dan? Jadi
puisi-puisi Amirah tak mungkin sampai? Kenapa Amirah tetap menulisnya?” “kamu
tahu siapa matahari, pelangi, pagi, dan apapun yang menghilang yang dia maksud
dipuisinya? Dia adalah Ayah Dan”
Aku tersentak, yah! Makna puisi itu, aku semakin tahu..
· Pagiku benar-benar hilang..
Sementara
aku baru juga bangun..
Senja
seperti inikah yang membawanya pergi?
Aku
ingin jemput pagi itu..
Tapi
aku harus melewati malam yang kelam, dan aku belum punya cahaya apapun untuk
berjalan menembusnya
· Aku ingin menangis,
Tapi
aku sadar tangisku tak akan mampu menebus rinduku..
Lalu
untuk apa aku menangis?
Meskipun
tangisku tak terdengar dan tak terlihat.
Bahkan
mungkin tak disadari oleh siapapun,
Tapi
aku tau itu sia-sia..
Maka
biarkan air mataku cair dalam diam..
Aku
terlalu rindu,
Tapi
aku sendiri belum siap untuk menebus rindunya..
Aku, entah kenapa semenjak mengetahui semua dari Aqila
jadi banyak diam. Aku seperti larut dalam perasaan Amirah, padahal iapun belum
pernah bicara padaku. Seperti saat ini, aku bahkan tak tau kenapa tiba-tiba
langkah kaki membawaku untuk ketoko buku dekat kampus. Padahal aku tak berniat
kesini. Akupun hanya diam mematung di kursi baca sambil membolak-balik buku
yang sudah dari dua jam tadi aku pegang.
“maaf permisi”
Sebuah suara mengagetkanku. Laki-laki dengan seragam toko
itu menghampiriku. Sepertinya ia sudah dari tadi memperhatikan aku.
“kak, mau beli bukunya? Kebetulan ada penulisnya, mungkin
mau minta tanda tangan”
Aku hanya tersenyum dan menggeleng, aku bukan orang
seperti itu yang rela antri untuk sebuah tanda tangan yang tidak begitu
penting. Laki-laki itupun meninggalkan aku, padahal aku membaca bukunya saja
tidak.
“sombong banget sih! Baru juga jadi penulis!”
Tiba-tiba seorang gadis ABG ngomel-ngomel disampingku.
“emang kenapa?” tanya teman gadis itu yang dari tadi
asyik membaca.
“masak gue minta tanda tangan dia, eh dia tanya buat apa?
Ya udah gue jawab kan ini buku dia” “eh, dianya dengan enteng bilang jangan
mengorbankan waktu untuk sesuatu yang tidak penting, tanda tangan penulis tak
ada apa-apanya dibandingkan isinya! Niat nggak sih dia nulis!” omel gadis itu
sambil melemparkan buku di meja. temannya pun menarik tangannya keluar, karena
banyak orang melihatnya.
Aku diam, aku membenarkan apa yang dikatakan penulisnya
itu, bagiku dia penulis yang unik dan benar-benar ingin menyampaikan apa yang
dia tulis. Akupun melirik buku yang dilempar gadis tadi, disampulnya terpampang
besar judulnya ‘TITIP RINDU BUAT AYAH’ dan! Aku kaget melihat siapa yang
menulis ‘Amirah Abdijayatama’ akhir-akhir ini telingaku akrab dengan nama depan
itu ‘Amirah’ dan ‘Abdijayatama’?! nama itu akrab sekali ditelingaku dengan nama
depan ‘Aqilah’ itu artinya?
Aku menoleh kebelakang, tapi tempat yang ditunjuk
laki-laki tadi sudah kosong. Laki-laki tadi? Aku melihat buku yang aku pegang,
buku yang sama dengan yang dilempar gadis ABG tadi. Akupun melangkah mencari
laki-laki tadi, dan ketika aku tanya perihal penulisnya dia bilang sudah pergi,
karena dia hanya membeli beberapa buku.
Aku membeli buku itu dan melangkah keluar, mataku
langsung tertuju pada sosok yang sedang duduk di halte bus. Entah kenapa tanpa
ragu aku melangkah mendekatinya. Tapi dia justru asik dengan diamnya, matanya
memandang lurus kejalan.
Pada akhirnya dia menoleh juga, tapi aku malah jadi kelimpungan
dan memandang kejalan. Dan begitu terjadi berkali-kali. Sampai akhirnya untuk
pertama kali aku mendengar dia bicara.
“Qur’an Surah an-Nur ayat 30” Katanya sambil berlalu
pergi.
Katakanlah kepada laki-laki beriman, agar mereka
menjaga pandangannya....
Sedang aku? Aku masih mematung, lalu cepat saja aku
beristighfar. Aqilah benar, dia tidak banyak bicara. Bahkan untuk sekedar
menegur, apa memang dia tidak mengenali aku?
***
Pagi seperti biasa, aku ceritakan semua pada Nizar.
Karena sedikit banyaknya Nizar tahu tentang keluarga Abdijayatama, karena dulu
Nizar teman satu sekolah, satu les, dan sepermainan dengan Anisah. Meski ketiga
saudara itu tak akrab, tapi Aqilah mengenali Nizar dan teman-temannya.
“Om Tama memang orang yang baik” katanya lirih “maaf Dan,
aku sebenarnya tahu tentang Amirah tapi tak sopan kalau aku yang
menceritakannya”
Aku sedikit kaget dengan apa yang Nizar katakan, tapi
kemudian memakluminya.
Hari ini seperti biasa, sepulang kuliyah aku kerja. Dan
hari ini untuk pertama kalinya semenjak kerja disini aku tidak mengamati Amirah
lagi, sebisa mungkin aku tidak menoleh kearah taman karena bila aku menoleh
maka aku hanya akan terpaku diam. Aku masih malu dengannya, kemarin untuk
pertama kalinya aku mendengar suaranya dan aku langsung dibuat malu. Tiba-tiba
aku merasa tak pantas mengaguminya, dia terlalu hebat untuk aku kagumi dan aku
impikan.
Tapi tiba-tiba sebuah tangan memberikan selembar kertas.
Dia Aqilah.
“aku pikir kau terlalu sibuk dan lupa dengan ritualmu”
katanya tanpa menoleh ke arah ku.
“ritual?”
“iya, ritual membaca puisi kakakku”
Aku menerima kertas itu “Aqilah, kau sudah tau kalau ia
punya buku?”
Aqilah mengrutkan keningnya “maksudmu? Bukunya terbit?”
Aku mengangguk, dan aku menceritakan peristiwa di toko
buku kemarin tapi tentu saja tidak sampai halte, karena itu aib buatku.
“itu justru akan menjadi citra buruk baginya” keluh
Aqilah.
“tapi aku rasa yang dia katakan benar”
“tergantung dari sisi mana kamu melihatnya”
“maksudmu?”
“tanda tangan itu artinya kita menghargai dia sebagai
penulis, kita mengagumi yang dia tulis”
“bahkan gadis itu belum sempat membacanya”
“dari mana kau tahu”
“dari buku yang masih bagus dan harga yang masih
tertempel”
“kalau begitu sudut pandangmu benar” sejenak Aqilah diam “puisinya
pun mendadak aneh” kata Aqilah
“aneh?” tanyaku tak mengerti.
Aqilah melirik pada kertas yang tadi ia berikan padaku,
akupun mengerti dan segera membacanya.
Mata
itu..
Akhirnya
aku bicara pada pemilik mata itu,
Mata
yang tatapannya sama
Seperti
ketika Ayah memandang Bunda yang sedang memasak.
Mata
itu..
Kali
ini untuk pertama aku tak melihatnya,
Aku
bahagia, tapi kecewa...
Kalau
boleh aku bertanya,
Apa
maksud kedua mata..
Aku
tak butuh itu,
Aku
hanya butuh keberanian
Keberanian
tentang apa yang tersimpan..
Aku membelalakkan mataku begitu melihat puisi Amirah hari
ini, bagiku ini bukan puisi tapi..
“sepertinya dia jatuh cinta, tapi entah pada siapa” kata
Aqilah.
Aku hanya diam, jatuh cinta? Mata? Dan.. apakah ada orang
lain yang memperhatikannya selain aku? Atau itu memang aku? Kemarin dia bicara
denganku..
Aku kembali sadar bahwa aku tengah ditipu daya oleh puisi
ini, aku pun cepat berIstighfar. Mendengarnya Aqilah pun langsung menoleh.
“kenapa?” tanyanya khawatir.
“tidak, Aqilah maaf, aku harus kembali kerja. Permisi”
Aku meninggalkan Amirah, sebisa mungkin aku harap hatiku
tidak berbunga-bunga. Karena aku masih sangat malu dengan kejadian dihalte
kemarin.
Sepulang kerja, aku berjalan menembus malam. Kost ku
tidak jauh dari restoran keluarga Aqilah jadi aku cukup jalan kaki. Tapi
kemudian mataku tertumpu pada gadis dengan jilbab lebarnya yang sedang menuntun
motornya. Aku tahu itu siapa, aku melirik jam tangan, hampir setengah satu
malam dan tentu tidak ada bengkel yang buka jam segini. Dia melewatiku, tentu
saja tanpa memandangnya.
“A-Amirah”
Terbata-bata aku panggil dia juga, aku tidak tega melihat
seorang perempuan menderita. Dia berhenti menoleh kearahku sekilas. Akupun
medekatinya.
“maaf, maksudku mbak Amirah. Motornya kenapa?” tanyaku
basa-basi.
Dia melirik kearah ban “bocor” jawaban yang singkat.
“mbak, saya karyawan direstoran keluarga mbak” kataku
sambil menunjukkan identitas karyawan “kalau mbak mau mbak bisa pakai motor
saya, kebetulan kost saya tidak jauh dari sini. Karena kalau cari bengkel
sangat tidak mungkin, ini sudah larut malam” kataku menawarkan.
Dia hanya diam, ragu-ragu. Aku tak yakin apa dia
benar-benar tidak mengenaliku setelah kejadian di halte kemarin.
“besok sebelum mbak kerja saya antar motor mbak,
kebetulan saya pernah mengantar Aqilah dulu” kataku meyakinkan.
Dia pun mengiyakan, dia mempersilahkan aku berjalan di
depan sedang dia mengikuti dibelakang. Aku merasa tak enak hati sekaligus
kasihan, dan menawarkan menuntun motornya.
***
Pagi itu setelah memundurkan mobilku sebelum Anisah
meminta aku kaget karena ada motor Wildan dibagasi rumah kami dan lebih kaget
karena motor Amirah tidak ada. Apa Amirah yang memakai motor Wildan? Dari mana
mereka kenal? apa mereka sudah saling
kenal? karena sebenarnya Wildan dulu ingin masuk sastra, tapi karena bisnis
Ayahnya yang harus ia lanjutkan terpaksa ia kuliyah tidak di jurusan yang dia
inginkan. Apa mereka? Ah.. aku segera menepis fikiran macam-macamku, lagi pula
aku tahu siapa Amirah dan Wildan. Kalau mereka saling kenal, lalu untuk apa
Wildan sering bertanya tentang Amirah.
“Ami, itu motor Wildan kamu yang pakai?”
Tanyaku begitu sampai didalam rumah dan melihat Amirah
tengah sarapan siap hendak kerja dengan baju serba hitam, atau mau takziah?.
“Wildan yang ganteng itu ya?” sahut Anisah yang turun
dari tangga dan merapihkan dandanannya.
“iya” jawabku singkat.
Anisah pun berhenti dan melihat ke arah Amirah dengan
penuh tanda tanya.
“ motorku bocor ban semalam”
Amirah menjawab dengan singkatnya, dan segera berdiri
begitu ada suara bel dari luar. Tanpa diminta aku dan Anisah mengikutinya.
Dia Wildan yang mengantar motor Amirah. Wildan menyapa
aku dan Anisah yang masih terbengong penuh tanya.
“terimakasih” ucap Amirah.
Dan untuk pertama kalinya aku melihat Amirah tersenyum
pada laki-laki. Mereka seperti akrab sekali, apa mungkin yang aku fikirkan tadi
benar? Tiba-tiba sisi hatiku begitu sesak, bahkan aku ingin menangis. Amirah
langsung pergi dengan motornya, sementara Wildan masih mematung di pagar. Ia
melihatku dan Anisah, meminta izin mengambil motornya.
“ambil saja” kataku ketus, aku langsung lari kekamar.
Sampai di kamar akhirnya tangis ku pecah, aku menangis
untuk hal yang sulit aku tahu.
Aku masih ingat ketika aku dan Wildan baru masuk kuliyah
dulu. Entah takdir atau apa namanya, sejak masih kuliyah strata satu aku dan
Wildan selalu satu kelas, bahkan ketika ospek dulu kamipun satu kelompok. Aku
memang tak begitu akrab dengannya, karena Wildan membatasi pergaulannya dengan
perempuan, tapi aku bisa jamin akulah perempuan yang paling akrab dengan Wildan
di kampus. Wildan pula yang dulu menasehatiku untuk memakai jilbab, meskipun
tak sempurna seperti jilbab yang dia bilang.
Aku berhenti dari tangisku, aku? Mungkinkah aku jatuh
cinta?
Pintu kamarku di buka, Anisah yang sudah siap dengan baju
kerjanya menghampiriku.
“kau mencintainya?” tanya Anisah hati- hati.
Jujur, kami tidak pernah sedekat ini dulu. Bahkan ketika
Anisah ditolak cintanya oleh Nizar dan bersedih, kami tak pernah saling menghibur
apa lagi bertegur sapa.
“aku tidak tahu, aku terlalu dekat meskipun jauh” jawabku
lemah.
Anisah membelai jilbabku, “pertama kali aku kenal, dulu
ketika dia mengantarmu pulang karena mobilmu dipakai Ayah. Tanpa sengaja aku
melihat dari jendela kamar, kau begitu bahagia dan aku tau” “kau bahkan tak
menyadari perasaanmu”
“kami sudah bersama sejak masuk kuliyah, dan secara
kebetulan kami selalu satu kelas”
“aku pernah merasakan sakit seperti itu” tutur Anisah
pelan.
“Isa, dulu waktu kau sakit seperti ini, bahkan aku tak
menegurmu” kataku hati-hati.
Anisah tersenyum, tapi aku tau dibalik senyumnya ada
kesedihan “setelah Ayah meninggal dan Bunda kembali ke Aceh, aku baru sadar
bahwa rumah ini terlalu besar terlalu sepi dengan kita bertiga dan kesibukan
kita masing-masing” “aku bahkan tak bisa lagi melihat bunda yang sering memasak
saat aku pulang, dan dengan berisiknya Amirah bercerita tentang hari-harinya ke
Bunda tanpa mempedulikan kesibukannya, Atau Ayah yang berebut remot TV dengan
Amirah. Aku rindu Qila, dan aku sadar aku butuh itu. Kita ini keluarga tapi
bukan keluarga” tutur Anisah.
Air matanya pun tak dapat di bendung, aku memeluknya.
Yah, akupun mulai menyadari semua. Aku merindukan keluarga yang sebenarnya.
“Setidaknya, dulu waktu Ayah sakit selalu ada Bunda
disisinya, Ada orang yang dia sayangi dan menyayanginya..” “Tak begini, Berkawan
dengan sepi, digerogoti oleh kerinduan.. Dan setidaknya, hanya beliaulah
laki-laki yang kami yakini menyayangi kami sepenuhnya dengan terang-terangan. Menerima
dan membimbing kami...” kataku mengingat puisi Amirah.
Anisah melepas pelukannya dan memandangku.
“itu puisi Amirah” kataku lirih.
Aku pun menceritakan semua pada Anisah. Tentang kebiasaan
Amirah yang selalu diperhatikan Wildan.
“apa mungkin itu alasan Amirah tak mau meneruskan
memimpin restoran?”
Aku mengangguk.
“dulu aku mengira dia sangat keterlaluan padamu” kata
Anisah yang nampak menyesal.
“aku pun begitu. Tapi setidaknya dia sudah mencintai Ayah
sejak lama, tidak seperti kita” kataku lemah.
Kami lama diam, tapi kemudian kami mendengar suara isakan
di luar kamarku. Aku dan Anisah pun membuka pintunya pelan-pelan. Dan kami
begitu terkejut melihat Amirah yang duduk dilantai menutupi kedua mukanya, ia
menangis dan meghambur memeluk kami.
“Ayah selalu meridukan moment ini, moment dimana kita
bisa sadar kalau kita keluarga” katanya lirih.
Jadilah hari itu kami tidak kemana-mana. Anisah yang
sudah siap mendadak izin mengatakan ada urusan keluarga, Amirah yang ditengah
jalan putar balik karena handphonenya ketinggalan pun tak jadi pergi. Sementara
aku, masih dengan baju tidur dan tak bersiap pergi kuliyah.
“aku juga sempat membenci kalian yang tak pernah merasa
kehilangan Ayah, dan tak mempedulikan perasaan Bunda” kata Amirah memecah
sunyi. “Anisah, aku sengaja menulis puisi-puisi itu agar kau baca. Dan aku
minta maaf, surat-surat dari Bunda untuk kalian itu aku yang menulis”
Aku dan Anisah kaget, tapi kami bisa memaklumi.
“aku berharap, kalian cepat menyadari perhatian Bunda
sebelum menyesal kedua kalinya. Dulu Ayah selalu ingin makan semeja, tapi itu
tak pernah bisa karena kalian sibuk. Tapi Ayah begitu mencintai kalian, bahkan
ketika aku berdua dengannya kalianlah yang dibicarakan” kata Amirah menunduk
lesu.
Anisah memeluk aku dan Amirah kembali “selama ini aku tak
tahu apa yang aku pikirkan, aku sangat keterlaluan pada kalian” katanya sambil
melepas pelukan.
“akupun begitu, aku terlalu cuek pada kalian sampai
akhirnya aku menyesal setelah Ayah pergi. Karena aku tidak pernah menyampaikan
apa yang Ayah rasakan” kata Amirah.
“aku juga, kita sama-sama keterlaluan tapi setidaknya
masih ada waktu untuk memperbaiki semua. Aku percaya Ayah melihat kita di
Syurga” kataku lirih.
Kami kembali diam, tapi suasana hening dikacaukan dengan
suara handphoneku. Aku mengambilnya dan terkejut melihat siapa yang menelpon.
Aku menunjukkan pada Anisah tanpa mengangkat panggilan, Anisah melihatku.
Panggilan pun berhenti. Tapi ketika Amirah hendak berbicara, aku rasa
menjelaskan perihal Wildan karena dia menyebut nama Wildan, handphone kembali
berbunyi dan dia memberi isyarat untuk mengangkat.
“Assalamuu’alaikum” sapaku
“Wa’alaikumsalam” suara diseberang panik.
Tiba-tiba aku memikirkan Wildan, kenapa tiba-tiba Nizar
menelponku?
“Qila! Kamu dimana?!” tanyanya ngosngosan seperti sedang
berlari.
“dirumah, kenapa?” aku mengerutkan kening, aku ikut
panik.
“Qila, kerumah sakit sekarang Qil aku mohon! Wildan!
Wildan Qil..”
“kenapa Wildan?!” tanya ku semakin panik, Anisah dan
Amirah pun melihatku.
“Qil kerumah sakit dekan kost cepat! Keruang ICU! Cepat
Qil!”
Tut.. tut.. telpon terputus, dan aku mematung tanpa aku
sadari handphone ku terlepas.
“kenapa Qil?!” tanya Amirah dan Anisah bersamaan.
“sesuatu pasti terjadi pada Wildan! Ayo kita kesana!”
Aku langsung mengambil kunci mobil ku. kami bertiga menuju
rumah sakit, Anisah mengemudikan mobil sementara aku sangat panik.. Amirah
duduk di belakang dan ia nampak tengah berdo’a.
Aku langsung berlari keruang ICU menemui Nizar, sejenak
Nizar kaget kami datang bertiga aku tahu karena kami tak pernah berjalan
bertiga.
“Nizar, kenapa Wildan?!” tanyaku panik.
“Qil, tadi pagi setelah mengantar motor Amirah Wildan
nampak sedih, dia bilang kamu marah padanya”
Aku diam. Iya, tadi aku marah karena aku rasa aku berhak
marah.
“aku tidak tahu bagaimana kejadiannya, ketika aku hendak
berangkat kerja salah satu teman kost teriak..”
Nizar menangis tak mampu melanjutkan kata-katanya.
“Wildan, jatuh dari lantai dua. Dan tak ada yang tahu”
katanya terisak.
Aku diam.. Wildan.. tubuhku kehilangan keseimbangan.
***
Inilah akhir yang selalu aku takuti, aku tau sesuatu
pasti terjadi. Entah firasat apa yang menuntunku tiba-tiba ingin sekali memakai
baju hitam ketika menemui dia tadi pagi. Tadinya aku berfikir bahwa aku tidak
ingin terlihat mencolok, bahkan warna coklat yang sangat aku sukaipun aku
abaikan. Layaknya Aqilah, aku sadar aku telah jatuh cinta padanya. Aku tahu dia
sering membaca puisi-puisiku, aku tahu dia hendak menyapaku waktu dihalte tapi
dia takut aku tak mengenalnya, aku tahu dia laki-laki yang baik, dan aku tahu
ketulusannya.
Hari ini, tepat ketika Aqilah sadar dari pingsannya dia
menghembuskan nafas terakhir. Dia banyak mengeluarkan darah, dan tak tertolong
lagi. Aqilah yang masih mengenakan baju tidur menangis sejadinya di dekat batu
nisan, aku tahu sakitnya seperti apa. Seperti saat aku kehilangan Ayah, karena
aku begitu mencintai beliau.
Anisah memeluk Aqilah, dan kami meninggalkan makam.
Sampai dirumah Aqilah pun masih diam.
“Qila, kamu jatuh cinta pada orang yang tidak salah. Dia
orang yang baik meskipun aku baru mengenalnya. Dia juga pasti bahagia dicintai
perempuan yang juga tulus sepertimu, do’a Qil yang dia butuhkan bukan air
matamu” kataku hati-hati sambil mengusap air matanya.
Qila memegang tanganku “dia juga bahagia dicintai orang
sepertimu, kamu kira aku tidak tahu puisi terakhirmu bukan lagi untuk ku? Sekarang
aku tahu bagai mana rasanya menjadi Ami dulu” katanya sambil memaksa senyum.
Aku memeluknya, meskipun aku mencintai laki-laki yang
bernama Wildan itu, tapi aku lebih mencintai Aqilah dan Anisah.
“malam itu ban ku bocor, dan kami bertemu dijalan. Dia
memperkenalkan dirinya dan menawariku untuk membawa motornya karena sangat
tidak mungkin mencari tukang tambal ban dimalam hari”
Aqilah kini memelukku sangat erat “bodohnya aku! Aku
memikir jauh dari itu, aku marah karena mengira kalian sudah saling kenal”
Aku melepas pelukan Aqilah “bahkan seandainya dia masih
hidup, aku rela dia menjadi milikmu Qila. Aku lebih mencintaimu dari pada dia”
“akupun begitu, bertahun-tahun kita tak menyadari itu apa
kau fikir aku akan menahannya untuk ku? Kau lebih berhak memilikinya, karena
sepertinya dia pun mencintaimu”
Anisah menghambur memeluk kami, ia menangis tapi ia
bilang dia tidak tahu harus bahagia atau sedih.
“kita harus segera ke Aceh, kita bawa Bunda kembali
menikmati keluarga yang sesungguhnya”
Sore itu,
Biarkan gelap
kali ini bercerita,
Bagaimana
senja secara sengaja memakan siangnya..
Dan
apa kau lihat?
Dua
orang laki-laki yang berkenalan..
Laki-laki
muda itu menyampaikan rindu dari ketiga putrinya..
Kau
lihat?
Mereka
sangat akrab meski di dimensi dulu tak saling kenal,
Rindu
itu telah tersampaikan,
Seseorang
menebusnya, ketika aku merasa belum siap menyampaikannya..
~*SELESAI*~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar