>

Cari Blog Ini

Selasa, 28 Oktober 2014

KEPADA RINDU



Dipersimpangan hati,
Aku berjalan dan mengarah pada bahagia
Aku hanya ingin hujan tau bahwa aku begitu mencintainya..
Aku bahkan telah menyatu bersamanya,
Menikmati setiap tetesan lagit..
Aku bahagia,
Aku jatuh cinta pada apapun tentangnya..
Aku mencintainya yang membasahi hatiku..

Puisi, apa yang kalian fikirkan tentang keindahan puisi?
Apa kalian begitu menyukainya, atau bahkan tak pernah mempedulikannya?
Jangan bilang kalian tak menyukai puisi, kallian bukan tidak menyukai, tapi kalian belum dekat dengannya. Kalian belum akrab pada puisi..
Padahal, banyak sekali yang bisa kalian lakukan dengan puisi. Dengan puisi, rahasia kalian akan tertutup rapat tanpa diketahui. Dengan puisi, kita bisa menyampaikan tentang jatuh cinta, benci, bahkan menyindir seseorang.
Yah, memang sekarang seseorang yang menyukai puisi itu di bilang ketinggalan jaman. Tapi menurutku itu antik. Dengan puisi aku merasa tak banyak yang tau kehidupanku.
“Mala, nggak lupa kan besok masuk jam 8?”
Seseorang tanpa permisi membuka kamarku, dan memasang wajah sewot diiringi pertanyaan yang membosankan. Yang perlu aku jawab dengan gelengan dan senyum paksaan.
“ya sudah tidur. Sudah jam 12”
Katanya sembari menutup kembali pintu kamarku, dan pergi.


O iya, kenalkan, Namaku Nirmala. Cukup panggil aku Mala.
Aku perantau bersama teman-teman satu kostku yang lain. Yah.. tentu saja aku tinggal di kost. Aku kerja, dan aku sangat mencintai pekerjaanku.
Aku selalu berfikir untuk apa menghabiskan hidup dengan kebosanan, sementara tidak ada yang bisa jamin besok kita bakalan hidup atau tidak. Jadi sesulit apapun masalah yang aku alami didalam dan diluar kantor, aku berusaha bersikap sebaik-baik mungkin. Aku tidak ingin seorang pun tau aku menderita. Aku tidak ingin seperti mereka yang menciptakan nerakanya sendiri. Yang menjalani hidup dengan begitu susah, kemudian menangisinya diam-diam. Aku tidak mau seperti itu.
Bukan berarti aku tidak pernah punya masalah, pada akhirnya kita pasti menemui jalan buntu dan ujian. Karena kita cuma hamba Allah. Tanpa ujian, kita cuma seonggok daging yang diragukan kekuatan, ketulusan, dan keikhlasannya.
Aku tentu pernah menemukan dimana aku merasa tak bisa jalan lagi, semua terasa buntu. Dan yang aku lakukan cukup berdo’a, menghadapi, dan menulis puisi tentang semua yang membuat aku sesak.

“tuuuh kan Mala kesiangan, kan Boss kalau hari senin datang pagi” omel kak Airin teman satu kantor dan kost denganku.
“yang kesiangan kan kakak bukan Mala”
“iya, tapi kalau kamu telat bangunnya, aku pasti kesiangan”
Aku cuma menahan tawa. Kak Airin kalau sudah tidur memang susah bangunnya, jadi aku selalu punya kegiatan rutin untuk membangunkannya.
Semetara kak Airin ngomel-ngomel, aku asyik dengan sarapan pagiku.
“Hanan juga, tumben jam segini belum jemput”
“kita naik taxi aja ya kak” usulku
“kenapa?” tanya kak Airin
“nggak enak kan setiap hari kita nebeng mobil Hanan, lagian dia jadi kayak sopir gitu. Kita ber dua duduk di belakang”
Kak Airin tersenyum genit “apa kamu mau duduk di samping Hanan?”
Aku gelagapan “ih, ngapain. Duduk disamping makhluk monster”
“Hanan itu bukan monster, dia cuma menjaga dirinya”
“menjaga diri sampai kelewat lebay”
“kata Hanan, menjaga jarak sama perempuan itu bukan untuk menjauhi, tapi untuk menjaga diri”
“maksud kakak?”
Belum sempat kak Airin menjawab, suara klakson mobil Hanan terdengar, yang artinya jemputan rutin kami sudah datang.

Andra Hanan Bagasdity, biasa di panggil Hanan adalah saudara sepupu kak Airin, kami tidak satu kantor tapi kantor kami berdekatan. Meskipun mereka saudara, tapi mereka tidak begitu dekat. Kak Airin bilang mereka bukan mahramnya. Kalau aku dibilang kuno karena aku begitu menggilai puisi, Hanan kuno karena begitu cintanya ia pada agamanya.
Aku sendiri heran, masih ada laki-laki yang seperti itu. Meskipun kami setiap hari berangkat dan pulang bersama, tapi kami jarang sekali ngobrol.
Jangankan denganku, dengan kak Airinpun ia jarang berbicara. Yah sesekali lah membicarakan keluarga mereka yang sedikit banyak aku kenal.
Meskipun begitu, aku sadar betul Hanan itu laki-laki yang perhatian dan menjaga wanita. Jarang loh jaman sekarang ada laki-laki yang seperti itu. Bahkan untuk sekadar lama-lama melihatku saja dia tidak berani.
“kesiangan juga kamu Nan?” tanya kak Airin memecah sepi.
“ndak mbak, tadi habis antar poster ke rumah teman. Eh malah diajak sarapan. Ndak enak kalau nolak, sudah dimasakin sama istrinya”
“teman kuliyah?”
“iya”
“sudah punya istri?” ledek kak Airin.
Muka Hanan seketika merah “kalau mbak Airin mau duluan ya monggo” jawabnya mengetahui arah pembicaraan kak Airin.
“kan tuaan kamu Nan” jawab kak Airin tak mau kalah
“poster apa?” tanyaku yang bosan dengan percakapan seperti itu, dan melihat Hanan tak mampu menjawab pertanyaan kak Airin.
“oh itu, lomba puisi”
“puisi? Wah kebetulan sekali. Mala suka sekali menulis puisi” kata kak Airin dengan semangatnya.
“o ya? Wah.. ikut aja mbak. Lumayan loh hadiahnya”
Aku memaksa senyumku “saya cuma suka aja mas, dan nggak berniat buat lomba. Lagian puisi saya jelek-jelek”
“loh, dari mana mbak Mala tau kalau puisi mbak jelek? Mbak sendiri belum pernah melombakannya”
Kak Airin hanya tersenyum meledek kepadaku. Hanan selalu begitu, kata-katanya penuh motivasi.
“nanti saya kirim posternya ke mbak Mala” katanya mengakhiri pembicaraan sambil menambah volume murottal yang tengah dia putar.

Tak seperti biasanya, malam itu kak Airin begitu semangat menemaniku hingga larut. Ia membuka-buka puisi-puisi yang aku tulis.
“bagus-bagus semua La, aku bingung milihnya” keluh kak Airin.
“udahlah mbak, Mala juga nggak begitu minat kok”
“kamu ingat kata-kata Hanan dimobil tadikan?”
Aku terdiam sejenak, bagaimana kalau seandainya aku kalah? Apa Hanan akan menertawakanku? Aku pasti bakalan malu kalau sampai itu terjadi.
“kak Airin..” panggilku ragu-ragu
“hmm” jawab kak Airin dengan tetap masih serius pada puisi-puisiku
“Hanan...”
Baru aku mau mulai membuka pembicaraan, kak Airin langsung menatapku penuh konsentrasi.
“ah, kak Airin jangan gitu” kataku malu-malu
Kak Airin tertawa “kenapa? Kan harus ditanggepi orang ngomong”
“tapi nggak gitu juga” protesku
“iya, kenapa?” kak Airin mulai penasaran
“tapi jangan ketawa”
“iya”
Aku terdiam sejenak mengambil nafas “Hanan.. pernah pacaran?”
Aku bertanya serius, tapi kak Airin sekuat tenaga menahan tawanya.
“ih serius, gaya pacaran Hanan gimana?”
Kak Airin nampak berfikir sejenak “kalau pacaran sih setau aku nggak pernah, tapi...”
“tapi...” tanyaku tak sabar
“kamu mau tau?”
Aku mengangguk serius
“tapi kakak punya syarat serius”
“syarat, syarat apa?” tanyaku tak mengerti
“kamu kan sudah berjilbab ya La, bagus sih. Tapi ada yang kurang dengan jilbab kamu”
Aku makin tak mengerti
“kamu mau berjilbab lebar seperti kakak?”
“hah?!” aku meyakinkan pendengaranku
“iya, kakak mau kok pinjami Mala untuk sementara, sampai Mala bisa beli jilbab baru”
“tapi kenapa kak?”
“segala sesuatu itu harus maksimal La, kamu sudah berjilbab, kamu sudah taati perintah Allah. Tapi jilbab yang Allah minta itu yang menutup dada”
“iya Mala juga tau, tapi..”
“belum siap? Sampai kapan? Sampai kapan kita siap? Sementara hati kita selalu berbuat kesalahan”
Aku terdiam cukup lama
“Mala itu baik, kalau Mala merasa belum siap berhijab syar’i karena merasa masih banyak kesalahan, lalu kapan dimulai? Apa Mala bisa tau Mala bisa bersih dari salah sampai alasan itu yang digunakan untuk mentaati perintah Allah? Bukankah dengan taat maka kesalahan kita akan berkurang?”
“iya kak, Mala mau! Ayo kita kekamar kakak, kita cari jilbab buat Mala pakai besok”
Kataku sambil bangkit dari duduk
“terus ceria soal Hanan?” ledek kak Airin
Aku berdiri mematung, aku sampai lupa pada pokok pembicaraan kami. Aku kembali duduk dan tersenyum malu-malu.
Kak Airin menghela nafasnya “dia pernah mencintai seseorang, teman sesama aktivisnya ketika masih kuliyah. Hanan begitu yakin kalau perempuan itu mencintainya, Hanan dekati dia lewat murabbinya. Cinta bersambut, Hanan sudah benar-benar mabuk dengan cintanya. Namun ketika ia sampaikan maksudnya pada orang tua si gadis, ia ditolak” “seminggu kemudian, gadis itu menikah dengan pilihan orang tuanya.”
“lalu? Apa gadis itu tak bisa menentang orang tuanya? Memperjuangkan cinta mereka”
“cinta sepihak untuk Hanan, karena gadis itu mau menerima suaminya” “suaminya orang terpandang dan anak seorang ulama besar, tidak ada alasan untuk gadis itu menolaknya. Mereka sudah di jodohkan ketika masih kecil”
“lalu kenapa dia beri harapan untuk Hanan kak?”
“tidak ada yang tau, dan kita tidak bisa menyalahkan siapapun”
“bagaimana dengan Hanan?”
“yah seperti yang kamu lihat, dia merasa baik-baik saja”
“tapi tidak ada yang tau kan?” tanyaku sewot
Sejenak aku terdiam
Cinta memang selalu begitu,
Membuai racun dalam manisnya palsu
Perlahan mendekat selayak malaikat
Lalu menikam bagaikan setan..
Tapi apa semua cinta begitu?
Sementara dunia selalu membungkusnya penuh kepalsuan
Apa cinta hanya untuk mereka yang berjaya?
Sementara disudut sebuah hati,
Ia biarkan membeku dalam sebuah pengharapan
Pengharapan yang mungkin tiada pernah tersampaikan
Dan kesucian itu, berguguran tertiup bersama angin
Aku hanya mengunci asa pada tanya
Pada kebutaanku akan cinta
Semoga kebutaan ini tidak akan membawa aku jatuh
Hingga aku tak tau cara untuk bangkit lagi

Pagi itu Hanan cukup terkejut dengan penampilan baruku, tapi aku niatkan aku merubah penampilan ini bukan karena aku yang kagum terhadapnya, tapi karena apa yang kak Airin katakan semalam. Karena aku tudak pernah tau kapan aku benar-benar baik.
“Mala anggun ya Nan dengan penampilan barunya” puji kak Airin
Hanan hanya tersenyum.
“o ya Nan, semalam mbak email buat lomba itu”
“kok mbak yang email? Mbak ikut?”
“ya nggak lah, habis Mala lebih semangat sama merubah penampilannya dari pada ikutan lomba”
Aku mencubit pinggang kak Airin
“o ya mbak, Hanan besok ndak bisa jemput ya”
“kenapa?”
“Hanan mau ke sulawesi, suami teman sakit parah”
“sulawesi? Hamizah?” tanya kak Airin dengan muka tak suka
“iya, teman-teman mau kesana. Ndak enak kalau Hanan tidak ikut. Apalagi suami Hamizah yang meminta Hanan datang”
Untuk pertama kalinya aku memandang Hanan cukup lama, aku cukup bisa membaca bahwa ada luka dimatanya. Ada kekecewaan disana.
Aku bisa menebak, Hamizah pasti perempuan yang diceritakan kak Airin semalam. Lalu untuk apa Hanan datang? Bukankah itu hukuman yang pantas untuk Hamizah? Apa Hanan ingin mengulang kembali luka-luka yang dia rasakan?

Sekalipun aku mencintaimu,
Aku hanya bisa
Menikmati cinta dalam kebisuanku.
Aku tak pernah bisa menahanmu
Sekedar untuk tetap duduk disampingku.
Menikmati senja,
Atau sekedar menatap langit yang sama..
Aku tak pernah mampu menjadi apapun,
Untuk mencintaimu...
Sudah hampir 2 bulan Hanan pergi, aku dengar kabar dari mbak Airin, Hanan mengajukan surat pengunduran di kantornya. Dan sekarang, dia masih di Sulawesi. Dia mencari kerja disana.
“kakak nggak habis fikir sama Hanan, dia itu kelewat baik”
“...”
“dia tanggung biaya suami Hamizah, semetara Hamizah juga tergeletak lemah dirumah sakit karena mentalnya tak kuat, dia suruh orang untuk menjaganya dan dia yang bayar La” “kenapa mau-maunya Hanan berbuat begitu, padahal dulu dia dicampakkan dan dibuang. Sekarang tenaganya dia habiskan untuk mereka”
“...”
“harusnya itukan tanggung jawab orangtua mereka”
“kan orangtuanya juga punya anak yang lain kak” kataku menenangkan
Kak Airin hanya bisa menarik nafas berat
Aku hanya terdiam, pada akhirnya akulah yang kalah, perasaan ini untuk pertama kali singngah dihatiku. Yang tadinya mau tak mau ku semai, tapi tanpa ku sadari mekar dengan indah dan kemudian hancur begitu saja.
“La” panggil kak Airin lesu
“iya kak?”
“kalaupun kelak suami Hamizah tak tertolong, dan orangtuanya meminta Hanan mendampingi, kak Airin nggak rela La”
“Astaghfirullah kak, jangan bicara seperti itu. Jodoh itu sudah diatur sama Allah”
“La, kamu harus janji sama Kakak, kamu harus menikah sama Hanan”
Aku terdiam, tangan kak Airin memegang bahuku erat. Yah, itu yang aku harapkan. Tapi aku tak berani berharap. Belum sempat aku bermimpi, aku sudah merasakan kecewa yang teramat sangat.
“kakak tau kamu jatuh cinta sama Hanan, kakak bisa merasakan perasaan yang sama La. Hanan itu jarang mau ngobrol lama dengan perempuan”
“kak, tolong jangan bicara begitu”
“tapi La...”
Belum sempat kak Airin melanjutkan bicaranya, handphoneku berbunyi. Hannya sms, dan...
“kak, Mala dapat juara 2 kak” kataku menunjukkan sms yang baru kuterima
Kak Airin semangat membaca, “iya La. Alhamdulillah”
Sejenak kemudian kami sama-sama terdiam.
Perasaan apakah ini, biasanya aku selalu bisa menenangkan hatiku. Aku tak pernah mau diriku berada pada lingkaran kesedihan. Tapi kali ini, sekuat apapun aku menolak, justru perasaan gundah ini semakin mencengkram kuat hatiku. Seolah menahanku untuk menikmatinya lebih lama.
Aku tidak mau seperti ini, ini bukan aku. Apa benar ini karena seorang lelaki bernama Hanan? Bukankah selama ini hubungan kami hanya datar saja? Sebatas orang yang pernah kenal.
“coba Hanan tau ya La” kak Airin memcah kesunyian.
Aku hanya diam, aku tak mau lagi menyahutnya. Aku tak mau membicarakan soal Hanan.
Aku harus bisa mengatasi semuanya. Bahagia adalah hakku! Sangat menyedihkan jika hidupku yang sebentar ini aku gunakan hanya untuk mengutuk apa yang telah terjadi padaku.
“kak Airin” panggilku ragu-ragu
Kak Airin menoleh
“Mala.. Mala dapat panggilan kerja”
“panggilan kerja? Bukannya sekarang juga sudah kerja”
“i iya, tapi?”
“dimana?”
“Aceh, Mala akan kerja dan pindah ke Aceh” jawabku mantap
“pindah ke Aceh La? Kenapa mendadak sekali?” tanya kak Airin tak percaya
“sebenarnya itu iseng sudah lama kak, Mala coba masukkan surat lamaran, Mala ingin cari suasana baru. Eeh.. teryata keterima”
Sejenak kak Airin diam “ini bukan karena Hanan kan La?”
Aku memaksa senyumku “ya bukan lah kak, kan surat lamarannya Mala masukkan sebelum kejadian semua ini”
Kak Airin menutup mukanya dengan kedua tangannya, ia benar-benar menangis kali ini. sementara aku harus tetap terlihat tegar.

Pada akhirnya aku memang tidak hanya berpisah dengan Hanan, tapi juga kak Airin.
Yah dulu aku pikir, kak Airin lah yang bertanggung jawab menuai benih-benih cinta yang tadinya malu-malu tumbuh dihatiku. Dan selama masih ada kak Airin disampingku, maka luka dan Hanan tak akan pernah bisa pergi dari kehidupanku.
Tapi nyatanya aku salah, aku justru makin terjebak pada perasaan tak berarti ini. aku makin merindukan Hanan dan kak Airin.
Aku memang sudah tidak kost dan bekerja bersama kak Airin, tapi aku tidak pernah pergi jauh darinya. Aku masih bisa mengintipnya pulang dan pergi dari jendela kantorku.
Aku tak pernah ke Aceh, itu hanya alasan spontan yang aku berikan padanya waktu itu. Aku fikir untuk mencari pekerjaan baru, uang dari juara lomba waktu itu masih bisa ku gunakan untuk menyambung hidupku.
Aku menikmati dua tahunku untuk menyaksikan semua perubahan kak Airin, hanya dengan ini aku bisa berkomunikasi dengannya. Dengan kedua mataku di balik sikap pecundangku. Setelah berpisah dengannya waktu itu, aku putuskan semua kontak dengannya. Dari media sosial sampai nomor hapeku aku ganti.
Aku hanya ingin menjauh, tapi pada akhirnya aku diam-diam mendekat.
Bagaimana mungkin aku setia
Pada cinta yang tak ku tahu wujudnya..
Aku hanya bertahan pada keegoisanku,
Sementara waktu, terasa begitu mengikatku.
Aku tidak tahu sampai mana aku bisa bertahan,
Sementara perasaanku tersimpan.
Tersimpan bersama guguran daun musim ini,
Saat hujanpun, enggan sekedar membasahi bumi..
“La, belum pulang?”
Suara seorang laki-laki yang begitu akrab ditelingaku melamunkan semua lamunan yang tengah menari-nari di otakku. Aku masih berdiri mematung didepan jendela, sementara kak Airin sudah lewat setengah jam yang lalu.
“kamu sendiri?” aku balik bertanya
“Fawwas tidak akan pulang sebelum kamu pulang La”
Halwa yang juga teman satu kantorku menyahut. Fawwas hanya tersenyum menanggapi perkataan Halwa.
“kita jalan yuk, makan malam keluar” ajak Halwa
“aku banyak kerjaan Wa”
“ayolah Was, kan kita juga udah lama ngggak jalan bareng. Iya kan La?”
Aku hanya tersenyum, sementara sekilas aku bisa melihat Fawwas melirikku
“kita jalan berdua aja yuk Wa, aku juga lagi bosen” ajakku
“ya sudah ayo”
Akhirnya kami jalan ber dua, meninggalkan Fawwas bersama tumpukan pekerjaannya. Kami makan di salah satu restoran dekat kantor.
“kok tumben Fawwas nggak mau ikut kita ya La” Halwa membuka pembicaraan
Aku tersenyum “kan dia sudah bilang, lagi banyak kerjaan”
“yah La.. kita kenal tuh udah lama banget, udah hampir 2 tahun. Emang kamu nggak pernah ngerasa?”
“ngerasa?” tanyaku tak mengerti
“Fawwas itu suka sama kamu La, tiap apapun acara yang ada kamu, dia pasti ikut” “padahal tuh ya dulu sebelum kamu kerja di kantor, dia itu laki-laki yang gila kerja”
“jangan menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang kita lihat”
“ih nggak percaya”
“Wa..”
“eh sebentar telpon bunyi, takut suami udah jemput” Halwa memotong pembicaraanku
Tapi kemudia dia menunjjukkan layar hapenya padaku, Fawwas yang menghubunginya.
“iya Was?”
“...”
“kita ditempat biasa kok”
“...”
“ya udah sini, kita juga baru pesan makan”
“...”
“oke, bye”
*telponpun berakhir
“tuh kan La, baru aku bilang”
“kamu persis seperti kak Airin Wa”
“ih, kok aku selalu disama-samain sama teman kamu itu sih”
Aku cuma tersenyum
“kak Airin itu yang sering kamu lihat lewat jendela itu kan ya?”
“iya, siapa lagi”
“kenapa sih La, udah dua tahun loh kamu simpan sikap kamu itu. Dan kamu sama sekali nggak mau cerita ke aku”
“ada masanya Wa, tapi tolong jangan pernah bicarakan perihal Fawwas, kalaupun kamu merasa Fawwas suka sama aku, ya sudah biarkan saja” “biar keberanian Fawwas yang menjawab apa yang kamu lihat”
“dulu aku juga begitu, suamiku suka sama aku. Cuma aku nggak sadar. Tapi teman ngasih tau aku, makanya kami bisa saling tau dan menikah”
“tapi nggak semua seindah itu kan Wa? Ada yang meyakinkan, namun belum sempat sempurna keyakinannya akan cinta yang bersambut, pada akhirnya takdir lebih memilih memisahkan mereka” “Meskipun ada teman yang memberikan keyakinan, tapi pada akhirnya keyakinan itu hanya kekecewaan saja”
“apa karena itu kau menjauhi kak Airin?”
Aku hanya diam. Secara tidak langsung, kata-kataku barusan sudah menceritakan semua rasa penasaran Halwa.
Sesaat kami diam, aku tidak ingin menjauhi seseorang terdekatku lagi. Apa yang Halwa lakukan tentu akan membuat aku semakin tak ingin mendekatinya.
“hay.. kok kalian malah pada diam” Fawwas datang memecah kebisuan kami ber dua.
“barusan kita ngobrol kok, iya kan La”
Aku hanya tersenyum, aku bersikap sebisa mungkin tak memberi harapan pada Fawwas. Tak hanya Halwa, akupun bisa membaca dengan jelas perasaan Fawwas. Hanya saja aku tau, Fawwas segan dengan penampilanku. Yah, bagaimanapun aku sangat berterimakasih sama kak Airin yang sudah memperkenalkan pakaian syar’i padaku, sejauh ini apa yang aku kenakan cukup menjagaku.
Malam ini kami habiskan dengan ngobrol banyak hal, tapi aku lebih memilih banyak diam dan sebagai pendengar. sampai akhirnya Halwa yang pamit duluan karena suaminya sudah menjemput.
“aku juga duluan ya Was, nggak enak kalau kita cuma tinggal ber dua” aku beranikan diri pamit setelah Halwa benar-benar pergi
Fawwas hanya tersenyum “hati-hati ya La, apa perlu aku hantar” tawarnya
“oh, nggak usah, aku naik angkutan saja”
ini kali pertama aku bicara ber dua dengan Fawwas. kecanggungan Fawwas mau tak mau menular padaku.
“ya udah aku pamit, Assalamu’alaiakum”
“Wa’alaikumsalam”
“La..”
baru saja aku bergerak selangkah, Fawwas memanggilku.
“yang di maksud bangkit dari masa lalu bukanlah menghindari apa yang berhubungan dengannya. karena percuma kita pergi, tapi hati kita tak pernah pergi” kata Fawwas sambil menghampiriku
aku sedikit berfikir mencerna kata-kata Fawwas “maksud kamu?”
Fawwas mengeluarkan sesuatu dari dompetku, dan memberikan dua kartu nama.
aku, betapa terbelalak menerimanya, kartu nama kak Airin dan Hanan.
“karena dengan menghindari, pada akhirnya satu kesulitan akan datang lagi”
“...”
“minggu lalu aku beranikan diri menemui teman kamu, kak Airin” “sebelumnya aku minta maaf kalau aku lancang La, tadinya aku mau nggak ngasih tau kamu, tapi aku nggak bisa”
Dengan penuh simpati, aku dengarkan cerita Fawwas.
“besok Hanan akan menikah La” ucap Fawwas lirih
“menikah?” tanyaku tak percaya dengan apa yang aku dengar
“satu bulan setelah kamu memutuskan pergi, suami Hamizah meninggal dunia. Hamizah ikut bersama Orangtuanya, sedangkan Hanan kembali ke Jakarta. tujuannya cuma satu La, mengkhitbah kamu”
bagai tersambar petir, mengkhitbah? apa aku mimpi, apa benar yang Fawwas ceritakan?
“tapi sayang, baik kak Airin maupun Hanan tak bisa menemukan kamu. mereka kehilangan komunikasi dengan kamu. Hanan akhirnya memutuskan untuk ke Aceh, dia putuskan bekerja disana demi untuk bisa menemukan kamu”
Aku mendadak lemas, seperti disambar petir berkali-kali. aku tak mampu untuk membayangkan semuanya.
“kesabaran Hanan diuji, Hamizah semakin terpuruk sepeninggal suaminya. orang tuanya meminta Hanan untuk menikah dengannya. karena orang tua Hamizah berfikir Hanan belum menikah karena tak bisa merelakan Hamizah” “sementara untuk membuktikan semua itu, Hanan membutuhkan kamu” “Hanan menikah dengan Hamizah bukan karena cinta La, karena simpatinya terhadap seseorang yang pernah dia cintai, meskipun pernah melukainya. Hanan tak ingin memberikan luka seperti yang pernah Hamizah beri untuknya”
“.....”
“La, seseorang tengah menunggu kamu di masjid dekat kantor. aku harap kamu mau menemuinya”
Aku segera meninggalkan Fawwas dan menembus malam, tak lagi ku hiraukan mata yang melihatku tengah berlarian.
Dan kini didepanku, seseorang tengah khusyuk dalam do’a-do’anya. aku tau betul sosok itu. aku merindukannya, aku peluk dia dari belakang. aku peluk erat dan aku tak ingin meninggalkan dia lagi. dan akhirnya, air mataku yang kusimpan sejak lama mampu tumpah juga. aku puaskan tangisku, aku sudah tidak malu lagi karena pada dasarnya apa yang dia rasakan tentang perasaankku memang benar.
“La..” bisiknya lirih
aku melepaskan pelukanku, dan dia membalikkan badannya. dengan lembut dia usap air mataku dengan tangannya.
“Mala salah kak, Mala bodoh” kataku terisak-isak
dia mengarahkan jari telunjuknya ke bibirku “jangan bicara begitu”
kak Airin pun tak mampu menahan tangisnya, dia menghambur memelukku erat.
“tidak ada yang salah, seperti apapun kita berusaha, sekuat apapun kita mencintai. meskkipun cinta kita berbalas, tapi kalau Allah tak menjadikannya berjodoh, maka hanya tawakal dan ikhlas yang bisa kita lakukan” bisik kak Airin pelan
kak Airin melepas pelukannya, aku baru menyadari matanya sembab dan wajahnya sangat pucat.
“Allah pasti sudah siapakan yang terbaik untuk Mala, Mala harus percaya itu”
“...”
“seperti apapun kita menghindar, kalau Allah sudah takdirkan bersama, pada akhirnya semua jalan buntu untuk menghindari”
“Mala harus bagaimana kak, bertahun-tahun Mala terjebak dengan perasaan kacau. Mala nggak mau seperti ini kak, kenapa harus Mala”
kak Airin kembali memelukku “ingat yang Mala bilang, tanpa ujian kita cuma seonggok daging yang diragukan kekuatan, kesabaran, dan keikhlasannya. Mala pasti bisa, Allah beri ujian istimewa ini untuk Mala, agar Mala semakin kuat dan berkualitas”
perlahan aku tak mampu memeluk erat kak Airin, aku rasa semua gelap. dan aku tak ingat apa-apa lagi.

aku terbangun dan mendapati diriku diruangan serba putih. seorang wanita duduk di sampingku tengah membaca Al Qur’an.
“ukh Mala, Alhamdulillah..” katanya begitu mengetahui aku membuka mata
“anda siapa?” tanyaku
“perkenalkan saya Hamizah”
hamizah.. aku terdiam cukup lama, aku lihat di jari manisnya melinggar cincin pernikahan.
“ukh Mala kemarin pingsan, kata dokter kecapaian” ceritanya tanpa aku minta
“bagaimana pernikahannya?” tanyaku
“Alhamdulillah lancar” jawabnya sembari tersenyum
“Hamizah, apa kamu mencintai Hanan?”
“cinta?”
aku mengangguk
“pada dasarnya cinta tiada artinya tanpa disandarkan pada pemilliknya, saya memang tidak mencintai Hanan secara utuh, tapi saya mencintai ketaatan yang dia miliki, rasa tanggung jawab, dan setianya” tutur Hamizah dengan mata berbinar
“apa kamu yakin Hanan bahagia bersamamu?”
senyum Hamizah yang sedari tadi merekah, mendadak pudar. “maksud ukh Mala”
aku memaksa senyumku “nggak, aku cuma bercanda kok”
tapi Hamizah nampak memikirkan serius apa yang aku katakan, yah aku memang berharap begitu.
Allah.. maaf bila aku terlalu jahat mengatakan demikian. tapi wanita yang tengah bersamaku ini, begitu mudahnya ia bermain terhadap perasaan. apa dengan parasnya yang Kau beri kesempurnaan ia merasa pantas melakukan semua pada orang yang pernah memberikan perasaan suci untuknya.
“Mala sudah sadar” kak Airin yang beru datang memecah kesunyian.
Aku hanya membalas dengan senyum. tapi senyum itu, aku tak mampu menahannya lebih lama ketika aku lihat siapa yang datang bersama kak Airin. laki-laki itu hanya tertunduk. setelah kemudian Hamizah menghampirinya dan mencium tangannya.
perlahan tapi pasti, Hanan mendekatiku.
“apa kabar Mala?” tanyanya pelan
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Hanan. meskipun ia menunduk, tapi aku tau benar kekecewaan ada di matanya.
begitu sulitnya cinta untuk ia dan aku dapatkan?
“mas, mbak Airin, ukh Mala saya permisi keluar sebentar” pamit Hamizah
aku hanya mengangguk, dan diapun berlalu.
tinggallah kami bertiga, tapi hanya kebisuan. sementara pertanyaan Hanan belum bisa aku jawab.
“kakak harap kalian bisa menjaga hati kalian masing-masing” kak Airin akhirnya angkat bicara “Hanan, bagaimanapun kamu sudah menikah. kamu harus mencintai Hamizah seperti dulu” lanjutnya
kak Airin menatapku, memberi kode bahwa aku harus berbicara.
“Hanan, aku minta maaf” aku beranikan berbicara
“untuk?” tanya Hanan tak mengerti
“untuk ketidak pandaianku membaca perasaanmu”
Hanan yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya “untuk apa minta maaf Mala, sikap pecundangku yang merusak semuanya. aku memang tidak pernah menunjukkan sikap bahwa aku mencintaimu, jadi aku bisa memaklumi bahwa kamu menyerah pada cintamu” “kekecewaan terhadap kejadian sebelumnya membuatku tak begitu yakin dengan apa yang kak Airin katakan, aku takut kegagalan terulang kembali. tapi pada akhirnya, kekecewaan memang tak terelakkan untuk ketidak beranianku”
aku kembali diam, kak Airin bahkan tak mampu lagi membuka percakapan. aku memandang keluar, melihat orang yang lalu lalang di luar pintu. tapi kemudia mataku tertuju pada sosok yang seperti barumendengar pembicaraan kami dari balik pintu. aku mencoba meyakinkan, warna jilbab yang dia kenakan persis seperti yang Hamizah kenakan. aku hanya bisa bungkam dan menarik nafas panjang. aku tidak tahu apa yang akan terjadi lagi. apa yang akan Allah takdirkan untukku. yah aku hanya perlu ikhlas, bahwa tak selamanya yang memiliki perasaan sama bisa bersama. memang impian seua orang menghabiskan hidup bersama dengan orang yang dia cintai dan mencintainya. namun Allahlah yang mengatur semua, cinta akan datang dan pergi, namun hanya cinta padaNya lah yang akan menemui sejati.
yang aku lakukan sekarang hanyalah bersabar menunggu seseorang yang akan benar-benar berani menyatakan perasaannya padaku, bukan hanya diam pada cintanya. seseorang yang bukan hanya menyatakan cinta, tapi juga mau melabuhkan cinta nya untukku pada sebuah pernikahan. yang bukan hanya menikah karena mencintai semua kelebihan yang aku miliki, tapi juga segenap kekuranganku.
Bagaimanapun aku berhak bahagia, ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. memendam luka sekian lama, yang pada akhirnya luka itu justru makin menganga.
Kepada rindu,
Bisakah sampaikan harapan ini
Bahwa hanya pada yang berani
Maka rindu tiada berarti
Berani untuk benar-benar jujur terhadap apa yang ada dihatinya
Karena hati bukan tempat untuk menyimpan rasa
Tapi mengekspresikannnya.
Pada akhirnya aku memang hanya memendam rindu
Entah pada sosok siapa yang belum aku tau
Aku hanya rindu
Terhadap mimpi yang akan kami bangun kelak

** Selesai..

Alhamdulillah cerpen ini sudah dimuat di kawanimut loh
https://www.facebook.com/IloveOriginalKawanimut/photos/a.168379236556250.41209.141421482585359/866650530062447/?type=3&theater




2 komentar:

  1. duh kh aku ampe mau nagis bacanya.bener" nyentuh banget...cpt lanjut ya ukh ^^

    BalasHapus
  2. ini cerpen, jadi langsung ending :)
    cerita memang dibuat sad ending

    BalasHapus