Dipersimpangan
hati,
Aku berjalan
dan mengarah pada bahagia
Aku hanya ingin
hujan tau bahwa aku begitu mencintainya..
Aku bahkan
telah menyatu bersamanya,
Menikmati
setiap tetesan lagit..
Aku bahagia,
Aku jatuh cinta
pada apapun tentangnya..
Aku mencintainya
yang membasahi hatiku..
Puisi,
apa yang kalian fikirkan tentang keindahan puisi?
Apa
kalian begitu menyukainya, atau bahkan tak pernah mempedulikannya?
Jangan
bilang kalian tak menyukai puisi, kallian bukan tidak menyukai, tapi kalian
belum dekat dengannya. Kalian belum akrab pada puisi..
Padahal,
banyak sekali yang bisa kalian lakukan dengan puisi. Dengan puisi, rahasia
kalian akan tertutup rapat tanpa diketahui. Dengan puisi, kita bisa
menyampaikan tentang jatuh cinta, benci, bahkan menyindir seseorang.
Yah,
memang sekarang seseorang yang menyukai puisi itu di bilang ketinggalan jaman.
Tapi menurutku itu antik. Dengan puisi aku merasa tak banyak yang tau
kehidupanku.
“Mala,
nggak lupa kan besok masuk jam 8?”
Seseorang
tanpa permisi membuka kamarku, dan memasang wajah sewot diiringi pertanyaan
yang membosankan. Yang perlu aku jawab dengan gelengan dan senyum paksaan.
“ya
sudah tidur. Sudah jam 12”
Katanya
sembari menutup kembali pintu kamarku, dan pergi.
O
iya, kenalkan, Namaku Nirmala. Cukup panggil aku Mala.
Aku
perantau bersama teman-teman satu kostku yang lain. Yah.. tentu saja aku
tinggal di kost. Aku kerja, dan aku sangat mencintai pekerjaanku.
Aku
selalu berfikir untuk apa menghabiskan hidup dengan kebosanan, sementara tidak
ada yang bisa jamin besok kita bakalan hidup atau tidak. Jadi sesulit apapun
masalah yang aku alami didalam dan diluar kantor, aku berusaha bersikap
sebaik-baik mungkin. Aku tidak ingin seorang pun tau aku menderita. Aku tidak
ingin seperti mereka yang menciptakan nerakanya sendiri. Yang menjalani hidup
dengan begitu susah, kemudian menangisinya diam-diam. Aku tidak mau seperti
itu.
Bukan
berarti aku tidak pernah punya masalah, pada akhirnya kita pasti menemui jalan
buntu dan ujian. Karena kita cuma hamba Allah. Tanpa ujian, kita cuma seonggok
daging yang diragukan kekuatan, ketulusan, dan keikhlasannya.
Aku
tentu pernah menemukan dimana aku merasa tak bisa jalan lagi, semua terasa
buntu. Dan yang aku lakukan cukup berdo’a, menghadapi, dan menulis puisi
tentang semua yang membuat aku sesak.
“tuuuh
kan Mala kesiangan, kan Boss kalau hari senin datang pagi” omel kak Airin teman
satu kantor dan kost denganku.
“yang
kesiangan kan kakak bukan Mala”
“iya,
tapi kalau kamu telat bangunnya, aku pasti kesiangan”
Aku
cuma menahan tawa. Kak Airin kalau sudah tidur memang susah bangunnya, jadi aku
selalu punya kegiatan rutin untuk membangunkannya.
Semetara
kak Airin ngomel-ngomel, aku asyik dengan sarapan pagiku.
“Hanan
juga, tumben jam segini belum jemput”
“kita
naik taxi aja ya kak” usulku
“kenapa?”
tanya kak Airin
“nggak
enak kan setiap hari kita nebeng mobil Hanan, lagian dia jadi kayak sopir gitu.
Kita ber dua duduk di belakang”
Kak
Airin tersenyum genit “apa kamu mau duduk di samping Hanan?”
Aku
gelagapan “ih, ngapain. Duduk disamping makhluk monster”
“Hanan
itu bukan monster, dia cuma menjaga dirinya”
“menjaga
diri sampai kelewat lebay”
“kata
Hanan, menjaga jarak sama perempuan itu bukan untuk menjauhi, tapi untuk
menjaga diri”
“maksud
kakak?”
Belum
sempat kak Airin menjawab, suara klakson mobil Hanan terdengar, yang artinya
jemputan rutin kami sudah datang.
Andra
Hanan Bagasdity, biasa di panggil Hanan adalah saudara sepupu kak Airin, kami
tidak satu kantor tapi kantor kami berdekatan. Meskipun mereka saudara, tapi
mereka tidak begitu dekat. Kak Airin bilang mereka bukan mahramnya. Kalau aku
dibilang kuno karena aku begitu menggilai puisi, Hanan kuno karena begitu
cintanya ia pada agamanya.
Aku
sendiri heran, masih ada laki-laki yang seperti itu. Meskipun kami setiap hari
berangkat dan pulang bersama, tapi kami jarang sekali ngobrol.
Jangankan
denganku, dengan kak Airinpun ia jarang berbicara. Yah sesekali lah
membicarakan keluarga mereka yang sedikit banyak aku kenal.
Meskipun
begitu, aku sadar betul Hanan itu laki-laki yang perhatian dan menjaga wanita.
Jarang loh jaman sekarang ada laki-laki yang seperti itu. Bahkan untuk sekadar
lama-lama melihatku saja dia tidak berani.
“kesiangan
juga kamu Nan?” tanya kak Airin memecah sepi.
“ndak
mbak, tadi habis antar poster ke rumah teman. Eh malah diajak sarapan. Ndak
enak kalau nolak, sudah dimasakin sama istrinya”
“teman
kuliyah?”
“iya”
“sudah
punya istri?” ledek kak Airin.
Muka
Hanan seketika merah “kalau mbak Airin mau duluan ya monggo” jawabnya
mengetahui arah pembicaraan kak Airin.
“kan
tuaan kamu Nan” jawab kak Airin tak mau kalah
“poster
apa?” tanyaku yang bosan dengan percakapan seperti itu, dan melihat Hanan tak
mampu menjawab pertanyaan kak Airin.
“oh
itu, lomba puisi”
“puisi?
Wah kebetulan sekali. Mala suka sekali menulis puisi” kata kak Airin dengan
semangatnya.
“o
ya? Wah.. ikut aja mbak. Lumayan loh hadiahnya”
Aku
memaksa senyumku “saya cuma suka aja mas, dan nggak berniat buat lomba. Lagian
puisi saya jelek-jelek”
“loh,
dari mana mbak Mala tau kalau puisi mbak jelek? Mbak sendiri belum pernah melombakannya”
Kak
Airin hanya tersenyum meledek kepadaku. Hanan selalu begitu, kata-katanya penuh
motivasi.
“nanti
saya kirim posternya ke mbak Mala” katanya mengakhiri pembicaraan sambil
menambah volume murottal yang tengah dia putar.
Tak
seperti biasanya, malam itu kak Airin begitu semangat menemaniku hingga larut.
Ia membuka-buka puisi-puisi yang aku tulis.
“bagus-bagus
semua La, aku bingung milihnya” keluh kak Airin.
“udahlah
mbak, Mala juga nggak begitu minat kok”
“kamu
ingat kata-kata Hanan dimobil tadikan?”
Aku
terdiam sejenak, bagaimana kalau seandainya aku kalah? Apa Hanan akan
menertawakanku? Aku pasti bakalan malu kalau sampai itu terjadi.
“kak
Airin..” panggilku ragu-ragu
“hmm”
jawab kak Airin dengan tetap masih serius pada puisi-puisiku
“Hanan...”
Baru
aku mau mulai membuka pembicaraan, kak Airin langsung menatapku penuh
konsentrasi.
“ah,
kak Airin jangan gitu” kataku malu-malu
Kak
Airin tertawa “kenapa? Kan harus ditanggepi orang ngomong”
“tapi
nggak gitu juga” protesku
“iya,
kenapa?” kak Airin mulai penasaran
“tapi
jangan ketawa”
“iya”
Aku
terdiam sejenak mengambil nafas “Hanan.. pernah pacaran?”
Aku
bertanya serius, tapi kak Airin sekuat tenaga menahan tawanya.
“ih
serius, gaya pacaran Hanan gimana?”
Kak
Airin nampak berfikir sejenak “kalau pacaran sih setau aku nggak pernah,
tapi...”
“tapi...”
tanyaku tak sabar
“kamu
mau tau?”
Aku
mengangguk serius
“tapi
kakak punya syarat serius”
“syarat,
syarat apa?” tanyaku tak mengerti
“kamu
kan sudah berjilbab ya La, bagus sih. Tapi ada yang kurang dengan jilbab kamu”
Aku
makin tak mengerti
“kamu
mau berjilbab lebar seperti kakak?”
“hah?!”
aku meyakinkan pendengaranku
“iya,
kakak mau kok pinjami Mala untuk sementara, sampai Mala bisa beli jilbab baru”
“tapi
kenapa kak?”
“segala
sesuatu itu harus maksimal La, kamu sudah berjilbab, kamu sudah taati perintah
Allah. Tapi jilbab yang Allah minta itu yang menutup dada”
“iya
Mala juga tau, tapi..”
“belum
siap? Sampai kapan? Sampai kapan kita siap? Sementara hati kita selalu berbuat
kesalahan”
Aku
terdiam cukup lama
“Mala
itu baik, kalau Mala merasa belum siap berhijab syar’i karena merasa masih
banyak kesalahan, lalu kapan dimulai? Apa Mala bisa tau Mala bisa bersih dari
salah sampai alasan itu yang digunakan untuk mentaati perintah Allah? Bukankah
dengan taat maka kesalahan kita akan berkurang?”
“iya
kak, Mala mau! Ayo kita kekamar kakak, kita cari jilbab buat Mala pakai besok”
Kataku
sambil bangkit dari duduk
“terus
ceria soal Hanan?” ledek kak Airin
Aku
berdiri mematung, aku sampai lupa pada pokok pembicaraan kami. Aku kembali
duduk dan tersenyum malu-malu.
Kak
Airin menghela nafasnya “dia pernah mencintai seseorang, teman sesama
aktivisnya ketika masih kuliyah. Hanan begitu yakin kalau perempuan itu
mencintainya, Hanan dekati dia lewat murabbinya. Cinta bersambut, Hanan sudah
benar-benar mabuk dengan cintanya. Namun ketika ia sampaikan maksudnya pada
orang tua si gadis, ia ditolak” “seminggu kemudian, gadis itu menikah dengan
pilihan orang tuanya.”
“lalu?
Apa gadis itu tak bisa menentang orang tuanya? Memperjuangkan cinta mereka”
“cinta
sepihak untuk Hanan, karena gadis itu mau menerima suaminya” “suaminya orang
terpandang dan anak seorang ulama besar, tidak ada alasan untuk gadis itu menolaknya.
Mereka sudah di jodohkan ketika masih kecil”
“lalu
kenapa dia beri harapan untuk Hanan kak?”
“tidak
ada yang tau, dan kita tidak bisa menyalahkan siapapun”
“bagaimana
dengan Hanan?”
“yah
seperti yang kamu lihat, dia merasa baik-baik saja”
“tapi
tidak ada yang tau kan?” tanyaku sewot
Sejenak
aku terdiam
Cinta memang
selalu begitu,
Membuai racun
dalam manisnya palsu
Perlahan
mendekat selayak malaikat
Lalu menikam
bagaikan setan..
Tapi apa semua
cinta begitu?
Sementara dunia
selalu membungkusnya penuh kepalsuan
Apa cinta hanya
untuk mereka yang berjaya?
Sementara
disudut sebuah hati,
Ia biarkan
membeku dalam sebuah pengharapan
Pengharapan
yang mungkin tiada pernah tersampaikan
Dan kesucian
itu, berguguran tertiup bersama angin
Aku hanya
mengunci asa pada tanya
Pada kebutaanku
akan cinta
Semoga kebutaan
ini tidak akan membawa aku jatuh
Hingga aku tak
tau cara untuk bangkit lagi
Pagi
itu Hanan cukup terkejut dengan penampilan baruku, tapi aku niatkan aku merubah
penampilan ini bukan karena aku yang kagum terhadapnya, tapi karena apa yang
kak Airin katakan semalam. Karena aku tudak pernah tau kapan aku benar-benar
baik.
“Mala
anggun ya Nan dengan penampilan barunya” puji kak Airin
Hanan
hanya tersenyum.
“o
ya Nan, semalam mbak email buat lomba itu”
“kok
mbak yang email? Mbak ikut?”
“ya
nggak lah, habis Mala lebih semangat sama merubah penampilannya dari pada
ikutan lomba”
Aku
mencubit pinggang kak Airin
“o
ya mbak, Hanan besok ndak bisa jemput ya”
“kenapa?”
“Hanan
mau ke sulawesi, suami teman sakit parah”
“sulawesi?
Hamizah?” tanya kak Airin dengan muka tak suka
“iya,
teman-teman mau kesana. Ndak enak kalau Hanan tidak ikut. Apalagi suami Hamizah
yang meminta Hanan datang”
Untuk
pertama kalinya aku memandang Hanan cukup lama, aku cukup bisa membaca bahwa
ada luka dimatanya. Ada kekecewaan disana.
Aku
bisa menebak, Hamizah pasti perempuan yang diceritakan kak Airin semalam. Lalu
untuk apa Hanan datang? Bukankah itu hukuman yang pantas untuk Hamizah? Apa
Hanan ingin mengulang kembali luka-luka yang dia rasakan?
Sekalipun aku
mencintaimu,
Aku hanya bisa
Menikmati cinta
dalam kebisuanku.
Aku tak pernah
bisa menahanmu
Sekedar untuk
tetap duduk disampingku.
Menikmati
senja,
Atau sekedar
menatap langit yang sama..
Aku tak pernah
mampu menjadi apapun,
Untuk mencintaimu...
Sudah
hampir 2 bulan Hanan pergi, aku dengar kabar dari mbak Airin, Hanan mengajukan
surat pengunduran di kantornya. Dan sekarang, dia masih di Sulawesi. Dia
mencari kerja disana.
“kakak
nggak habis fikir sama Hanan, dia itu kelewat baik”
“...”
“dia
tanggung biaya suami Hamizah, semetara Hamizah juga tergeletak lemah dirumah
sakit karena mentalnya tak kuat, dia suruh orang untuk menjaganya dan dia yang
bayar La” “kenapa mau-maunya Hanan berbuat begitu, padahal dulu dia dicampakkan
dan dibuang. Sekarang tenaganya dia habiskan untuk mereka”
“...”
“harusnya
itukan tanggung jawab orangtua mereka”
“kan
orangtuanya juga punya anak yang lain kak” kataku menenangkan
Kak
Airin hanya bisa menarik nafas berat
Aku
hanya terdiam, pada akhirnya akulah yang kalah, perasaan ini untuk pertama kali
singngah dihatiku. Yang tadinya mau tak mau ku semai, tapi tanpa ku sadari
mekar dengan indah dan kemudian hancur begitu saja.
“La”
panggil kak Airin lesu
“iya
kak?”
“kalaupun
kelak suami Hamizah tak tertolong, dan orangtuanya meminta Hanan mendampingi,
kak Airin nggak rela La”
“Astaghfirullah
kak, jangan bicara seperti itu. Jodoh itu sudah diatur sama Allah”
“La,
kamu harus janji sama Kakak, kamu harus menikah sama Hanan”
Aku
terdiam, tangan kak Airin memegang bahuku erat. Yah, itu yang aku harapkan.
Tapi aku tak berani berharap. Belum sempat aku bermimpi, aku sudah merasakan
kecewa yang teramat sangat.
“kakak
tau kamu jatuh cinta sama Hanan, kakak bisa merasakan perasaan yang sama La.
Hanan itu jarang mau ngobrol lama dengan perempuan”
“kak,
tolong jangan bicara begitu”
“tapi
La...”
Belum
sempat kak Airin melanjutkan bicaranya, handphoneku berbunyi. Hannya sms,
dan...
“kak,
Mala dapat juara 2 kak” kataku menunjukkan sms yang baru kuterima
Kak
Airin semangat membaca, “iya La. Alhamdulillah”
Sejenak
kemudian kami sama-sama terdiam.
Perasaan
apakah ini, biasanya aku selalu bisa menenangkan hatiku. Aku tak pernah mau
diriku berada pada lingkaran kesedihan. Tapi kali ini, sekuat apapun aku
menolak, justru perasaan gundah ini semakin mencengkram kuat hatiku. Seolah
menahanku untuk menikmatinya lebih lama.
Aku
tidak mau seperti ini, ini bukan aku. Apa benar ini karena seorang lelaki
bernama Hanan? Bukankah selama ini hubungan kami hanya datar saja? Sebatas
orang yang pernah kenal.
“coba
Hanan tau ya La” kak Airin memcah kesunyian.
Aku
hanya diam, aku tak mau lagi menyahutnya. Aku tak mau membicarakan soal Hanan.
Aku
harus bisa mengatasi semuanya. Bahagia adalah hakku! Sangat menyedihkan jika
hidupku yang sebentar ini aku gunakan hanya untuk mengutuk apa yang telah
terjadi padaku.
“kak
Airin” panggilku ragu-ragu
Kak
Airin menoleh
“Mala..
Mala dapat panggilan kerja”
“panggilan
kerja? Bukannya sekarang juga sudah kerja”
“i
iya, tapi?”
“dimana?”
“Aceh,
Mala akan kerja dan pindah ke Aceh” jawabku mantap
“pindah
ke Aceh La? Kenapa mendadak sekali?” tanya kak Airin tak percaya
“sebenarnya
itu iseng sudah lama kak, Mala coba masukkan surat lamaran, Mala ingin cari
suasana baru. Eeh.. teryata keterima”
Sejenak
kak Airin diam “ini bukan karena Hanan kan La?”
Aku
memaksa senyumku “ya bukan lah kak, kan surat lamarannya Mala masukkan sebelum kejadian
semua ini”
Kak
Airin menutup mukanya dengan kedua tangannya, ia benar-benar menangis kali ini.
sementara aku harus tetap terlihat tegar.
Pada
akhirnya aku memang tidak hanya berpisah dengan Hanan, tapi juga kak Airin.
Yah
dulu aku pikir, kak Airin lah yang bertanggung jawab menuai benih-benih cinta
yang tadinya malu-malu tumbuh dihatiku. Dan selama masih ada kak Airin
disampingku, maka luka dan Hanan tak akan pernah bisa pergi dari kehidupanku.
Tapi
nyatanya aku salah, aku justru makin terjebak pada perasaan tak berarti ini.
aku makin merindukan Hanan dan kak Airin.
Aku
memang sudah tidak kost dan bekerja bersama kak Airin, tapi aku tidak pernah
pergi jauh darinya. Aku masih bisa mengintipnya pulang dan pergi dari jendela
kantorku.
Aku
tak pernah ke Aceh, itu hanya alasan spontan yang aku berikan padanya waktu
itu. Aku fikir untuk mencari pekerjaan baru, uang dari juara lomba waktu itu
masih bisa ku gunakan untuk menyambung hidupku.
Aku
menikmati dua tahunku untuk menyaksikan semua perubahan kak Airin, hanya dengan
ini aku bisa berkomunikasi dengannya. Dengan kedua mataku di balik sikap
pecundangku. Setelah berpisah dengannya waktu itu, aku putuskan semua kontak
dengannya. Dari media sosial sampai nomor hapeku aku ganti.
Aku
hanya ingin menjauh, tapi pada akhirnya aku diam-diam mendekat.
Bagaimana
mungkin aku setia
Pada cinta yang
tak ku tahu wujudnya..
Aku hanya
bertahan pada keegoisanku,
Sementara
waktu, terasa begitu mengikatku.
Aku tidak tahu
sampai mana aku bisa bertahan,
Sementara
perasaanku tersimpan.
Tersimpan
bersama guguran daun musim ini,
Saat hujanpun,
enggan sekedar membasahi bumi..
“La,
belum pulang?”
Suara
seorang laki-laki yang begitu akrab ditelingaku melamunkan semua lamunan yang
tengah menari-nari di otakku. Aku masih berdiri mematung didepan jendela,
sementara kak Airin sudah lewat setengah jam yang lalu.
“kamu
sendiri?” aku balik bertanya
“Fawwas
tidak akan pulang sebelum kamu pulang La”
Halwa
yang juga teman satu kantorku menyahut. Fawwas hanya tersenyum menanggapi
perkataan Halwa.
“kita
jalan yuk, makan malam keluar” ajak Halwa
“aku
banyak kerjaan Wa”
“ayolah
Was, kan kita juga udah lama ngggak jalan bareng. Iya kan La?”
Aku
hanya tersenyum, sementara sekilas aku bisa melihat Fawwas melirikku
“kita
jalan berdua aja yuk Wa, aku juga lagi bosen” ajakku
“ya
sudah ayo”
Akhirnya
kami jalan ber dua, meninggalkan Fawwas bersama tumpukan pekerjaannya. Kami
makan di salah satu restoran dekat kantor.
“kok
tumben Fawwas nggak mau ikut kita ya La” Halwa membuka pembicaraan
Aku
tersenyum “kan dia sudah bilang, lagi banyak kerjaan”
“yah
La.. kita kenal tuh udah lama banget, udah hampir 2 tahun. Emang kamu nggak
pernah ngerasa?”
“ngerasa?”
tanyaku tak mengerti
“Fawwas
itu suka sama kamu La, tiap apapun acara yang ada kamu, dia pasti ikut”
“padahal tuh ya dulu sebelum kamu kerja di kantor, dia itu laki-laki yang gila
kerja”
“jangan
menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang kita lihat”
“ih
nggak percaya”
“Wa..”
“eh
sebentar telpon bunyi, takut suami udah jemput” Halwa memotong pembicaraanku
Tapi
kemudia dia menunjjukkan layar hapenya padaku, Fawwas yang menghubunginya.
“iya
Was?”
“...”
“kita
ditempat biasa kok”
“...”
“ya
udah sini, kita juga baru pesan makan”
“...”
“oke,
bye”
*telponpun
berakhir
“tuh
kan La, baru aku bilang”
“kamu
persis seperti kak Airin Wa”
“ih,
kok aku selalu disama-samain sama teman kamu itu sih”
Aku
cuma tersenyum
“kak
Airin itu yang sering kamu lihat lewat jendela itu kan ya?”
“iya,
siapa lagi”
“kenapa
sih La, udah dua tahun loh kamu simpan sikap kamu itu. Dan kamu sama sekali
nggak mau cerita ke aku”
“ada
masanya Wa, tapi tolong jangan pernah bicarakan perihal Fawwas, kalaupun kamu
merasa Fawwas suka sama aku, ya sudah biarkan saja” “biar keberanian Fawwas
yang menjawab apa yang kamu lihat”
“dulu
aku juga begitu, suamiku suka sama aku. Cuma aku nggak sadar. Tapi teman ngasih
tau aku, makanya kami bisa saling tau dan menikah”
“tapi
nggak semua seindah itu kan Wa? Ada yang meyakinkan, namun belum sempat
sempurna keyakinannya akan cinta yang bersambut, pada akhirnya takdir lebih
memilih memisahkan mereka” “Meskipun ada teman yang memberikan keyakinan, tapi
pada akhirnya keyakinan itu hanya kekecewaan saja”
“apa
karena itu kau menjauhi kak Airin?”
Aku
hanya diam. Secara tidak langsung, kata-kataku barusan sudah menceritakan semua
rasa penasaran Halwa.
Sesaat
kami diam, aku tidak ingin menjauhi seseorang terdekatku lagi. Apa yang Halwa
lakukan tentu akan membuat aku semakin tak ingin mendekatinya.
“hay..
kok kalian malah pada diam” Fawwas datang memecah kebisuan kami ber dua.
“barusan
kita ngobrol kok, iya kan La”
Aku
hanya tersenyum, aku bersikap sebisa mungkin tak memberi harapan pada Fawwas.
Tak hanya Halwa, akupun bisa membaca dengan jelas perasaan Fawwas. Hanya saja
aku tau, Fawwas segan dengan penampilanku. Yah, bagaimanapun aku sangat
berterimakasih sama kak Airin yang sudah memperkenalkan pakaian syar’i padaku,
sejauh ini apa yang aku kenakan cukup menjagaku.
Malam
ini kami habiskan dengan ngobrol banyak hal, tapi aku lebih memilih banyak diam
dan sebagai pendengar. sampai akhirnya Halwa yang pamit duluan karena suaminya
sudah menjemput.
“aku
juga duluan ya Was, nggak enak kalau kita cuma tinggal ber dua” aku beranikan
diri pamit setelah Halwa benar-benar pergi
Fawwas
hanya tersenyum “hati-hati ya La, apa perlu aku hantar” tawarnya
“oh,
nggak usah, aku naik angkutan saja”
ini
kali pertama aku bicara ber dua dengan Fawwas. kecanggungan Fawwas mau tak mau
menular padaku.
“ya
udah aku pamit, Assalamu’alaiakum”
“Wa’alaikumsalam”
“La..”
baru
saja aku bergerak selangkah, Fawwas memanggilku.
“yang
di maksud bangkit dari masa lalu bukanlah menghindari apa yang berhubungan
dengannya. karena percuma kita pergi, tapi hati kita tak pernah pergi” kata
Fawwas sambil menghampiriku
aku
sedikit berfikir mencerna kata-kata Fawwas “maksud kamu?”
Fawwas
mengeluarkan sesuatu dari dompetku, dan memberikan dua kartu nama.
aku,
betapa terbelalak menerimanya, kartu nama kak Airin dan Hanan.
“karena
dengan menghindari, pada akhirnya satu kesulitan akan datang lagi”
“...”
“minggu
lalu aku beranikan diri menemui teman kamu, kak Airin” “sebelumnya aku minta
maaf kalau aku lancang La, tadinya aku mau nggak ngasih tau kamu, tapi aku
nggak bisa”
Dengan
penuh simpati, aku dengarkan cerita Fawwas.
“besok
Hanan akan menikah La” ucap Fawwas lirih
“menikah?”
tanyaku tak percaya dengan apa yang aku dengar
“satu
bulan setelah kamu memutuskan pergi, suami Hamizah meninggal dunia. Hamizah ikut
bersama Orangtuanya, sedangkan Hanan kembali ke Jakarta. tujuannya cuma satu
La, mengkhitbah kamu”
bagai
tersambar petir, mengkhitbah? apa aku mimpi, apa benar yang Fawwas ceritakan?
“tapi
sayang, baik kak Airin maupun Hanan tak bisa menemukan kamu. mereka kehilangan komunikasi
dengan kamu. Hanan akhirnya memutuskan untuk ke Aceh, dia putuskan bekerja
disana demi untuk bisa menemukan kamu”
Aku
mendadak lemas, seperti disambar petir berkali-kali. aku tak mampu untuk
membayangkan semuanya.
“kesabaran
Hanan diuji, Hamizah semakin terpuruk sepeninggal suaminya. orang tuanya
meminta Hanan untuk menikah dengannya. karena orang tua Hamizah berfikir Hanan
belum menikah karena tak bisa merelakan Hamizah” “sementara untuk membuktikan
semua itu, Hanan membutuhkan kamu” “Hanan menikah dengan Hamizah bukan karena
cinta La, karena simpatinya terhadap seseorang yang pernah dia cintai, meskipun
pernah melukainya. Hanan tak ingin memberikan luka seperti yang pernah Hamizah
beri untuknya”
“.....”
“La,
seseorang tengah menunggu kamu di masjid dekat kantor. aku harap kamu mau
menemuinya”
Aku
segera meninggalkan Fawwas dan menembus malam, tak lagi ku hiraukan mata yang
melihatku tengah berlarian.
Dan
kini didepanku, seseorang tengah khusyuk dalam do’a-do’anya. aku tau betul
sosok itu. aku merindukannya, aku peluk dia dari belakang. aku peluk erat dan
aku tak ingin meninggalkan dia lagi. dan akhirnya, air mataku yang kusimpan
sejak lama mampu tumpah juga. aku puaskan tangisku, aku sudah tidak malu lagi
karena pada dasarnya apa yang dia rasakan tentang perasaankku memang benar.
“La..”
bisiknya lirih
aku
melepaskan pelukanku, dan dia membalikkan badannya. dengan lembut dia usap air
mataku dengan tangannya.
“Mala
salah kak, Mala bodoh” kataku terisak-isak
dia
mengarahkan jari telunjuknya ke bibirku “jangan bicara begitu”
kak
Airin pun tak mampu menahan tangisnya, dia menghambur memelukku erat.
“tidak
ada yang salah, seperti apapun kita berusaha, sekuat apapun kita mencintai.
meskkipun cinta kita berbalas, tapi kalau Allah tak menjadikannya berjodoh,
maka hanya tawakal dan ikhlas yang bisa kita lakukan” bisik kak Airin pelan
kak
Airin melepas pelukannya, aku baru menyadari matanya sembab dan wajahnya sangat
pucat.
“Allah
pasti sudah siapakan yang terbaik untuk Mala, Mala harus percaya itu”
“...”
“seperti
apapun kita menghindar, kalau Allah sudah takdirkan bersama, pada akhirnya
semua jalan buntu untuk menghindari”
“Mala
harus bagaimana kak, bertahun-tahun Mala terjebak dengan perasaan kacau. Mala
nggak mau seperti ini kak, kenapa harus Mala”
kak
Airin kembali memelukku “ingat yang Mala bilang, tanpa ujian kita cuma seonggok
daging yang diragukan kekuatan, kesabaran, dan keikhlasannya. Mala pasti bisa,
Allah beri ujian istimewa ini untuk Mala, agar Mala semakin kuat dan
berkualitas”
perlahan
aku tak mampu memeluk erat kak Airin, aku rasa semua gelap. dan aku tak ingat
apa-apa lagi.
aku
terbangun dan mendapati diriku diruangan serba putih. seorang wanita duduk di
sampingku tengah membaca Al Qur’an.
“ukh
Mala, Alhamdulillah..” katanya begitu mengetahui aku membuka mata
“anda
siapa?” tanyaku
“perkenalkan
saya Hamizah”
hamizah..
aku terdiam cukup lama, aku lihat di jari manisnya melinggar cincin pernikahan.
“ukh
Mala kemarin pingsan, kata dokter kecapaian” ceritanya tanpa aku minta
“bagaimana
pernikahannya?” tanyaku
“Alhamdulillah
lancar” jawabnya sembari tersenyum
“Hamizah,
apa kamu mencintai Hanan?”
“cinta?”
aku
mengangguk
“pada
dasarnya cinta tiada artinya tanpa disandarkan pada pemilliknya, saya memang
tidak mencintai Hanan secara utuh, tapi saya mencintai ketaatan yang dia
miliki, rasa tanggung jawab, dan setianya” tutur Hamizah dengan mata berbinar
“apa
kamu yakin Hanan bahagia bersamamu?”
senyum
Hamizah yang sedari tadi merekah, mendadak pudar. “maksud ukh Mala”
aku
memaksa senyumku “nggak, aku cuma bercanda kok”
tapi
Hamizah nampak memikirkan serius apa yang aku katakan, yah aku memang berharap
begitu.
Allah..
maaf bila aku terlalu jahat mengatakan demikian. tapi wanita yang tengah
bersamaku ini, begitu mudahnya ia bermain terhadap perasaan. apa dengan
parasnya yang Kau beri kesempurnaan ia merasa pantas melakukan semua pada orang
yang pernah memberikan perasaan suci untuknya.
“Mala
sudah sadar” kak Airin yang beru datang memecah kesunyian.
Aku
hanya membalas dengan senyum. tapi senyum itu, aku tak mampu menahannya lebih
lama ketika aku lihat siapa yang datang bersama kak Airin. laki-laki itu hanya
tertunduk. setelah kemudian Hamizah menghampirinya dan mencium tangannya.
perlahan
tapi pasti, Hanan mendekatiku.
“apa
kabar Mala?” tanyanya pelan
Aku
tak bisa mengalihkan pandanganku dari Hanan. meskipun ia menunduk, tapi aku tau
benar kekecewaan ada di matanya.
begitu
sulitnya cinta untuk ia dan aku dapatkan?
“mas,
mbak Airin, ukh Mala saya permisi keluar sebentar” pamit Hamizah
aku
hanya mengangguk, dan diapun berlalu.
tinggallah
kami bertiga, tapi hanya kebisuan. sementara pertanyaan Hanan belum bisa aku
jawab.
“kakak
harap kalian bisa menjaga hati kalian masing-masing” kak Airin akhirnya angkat
bicara “Hanan, bagaimanapun kamu sudah menikah. kamu harus mencintai Hamizah
seperti dulu” lanjutnya
kak
Airin menatapku, memberi kode bahwa aku harus berbicara.
“Hanan,
aku minta maaf” aku beranikan berbicara
“untuk?”
tanya Hanan tak mengerti
“untuk
ketidak pandaianku membaca perasaanmu”
Hanan
yang sedari tadi menunduk mengangkat kepalanya “untuk apa minta maaf Mala,
sikap pecundangku yang merusak semuanya. aku memang tidak pernah menunjukkan
sikap bahwa aku mencintaimu, jadi aku bisa memaklumi bahwa kamu menyerah pada
cintamu” “kekecewaan terhadap kejadian sebelumnya membuatku tak begitu yakin
dengan apa yang kak Airin katakan, aku takut kegagalan terulang kembali. tapi
pada akhirnya, kekecewaan memang tak terelakkan untuk ketidak beranianku”
aku
kembali diam, kak Airin bahkan tak mampu lagi membuka percakapan. aku memandang
keluar, melihat orang yang lalu lalang di luar pintu. tapi kemudia mataku
tertuju pada sosok yang seperti barumendengar pembicaraan kami dari balik
pintu. aku mencoba meyakinkan, warna jilbab yang dia kenakan persis seperti
yang Hamizah kenakan. aku hanya bisa bungkam dan menarik nafas panjang. aku
tidak tahu apa yang akan terjadi lagi. apa yang akan Allah takdirkan untukku.
yah aku hanya perlu ikhlas, bahwa tak selamanya yang memiliki perasaan sama
bisa bersama. memang impian seua orang menghabiskan hidup bersama dengan orang
yang dia cintai dan mencintainya. namun Allahlah yang mengatur semua, cinta
akan datang dan pergi, namun hanya cinta padaNya lah yang akan menemui sejati.
yang
aku lakukan sekarang hanyalah bersabar menunggu seseorang yang akan benar-benar
berani menyatakan perasaannya padaku, bukan hanya diam pada cintanya. seseorang
yang bukan hanya menyatakan cinta, tapi juga mau melabuhkan cinta nya untukku
pada sebuah pernikahan. yang bukan hanya menikah karena mencintai semua kelebihan
yang aku miliki, tapi juga segenap kekuranganku.
Bagaimanapun
aku berhak bahagia, ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. memendam
luka sekian lama, yang pada akhirnya luka itu justru makin menganga.
Kepada rindu,
Bisakah
sampaikan harapan ini
Bahwa hanya
pada yang berani
Maka rindu
tiada berarti
Berani untuk
benar-benar jujur terhadap apa yang ada dihatinya
Karena hati
bukan tempat untuk menyimpan rasa
Tapi
mengekspresikannnya.
Pada akhirnya
aku memang hanya memendam rindu
Entah pada
sosok siapa yang belum aku tau
Aku hanya rindu
Terhadap mimpi
yang akan kami bangun kelak
** Selesai..
** Selesai..
Alhamdulillah cerpen ini sudah dimuat di kawanimut loh
https://www.facebook.com/IloveOriginalKawanimut/photos/a.168379236556250.41209.141421482585359/866650530062447/?type=3&theater
duh kh aku ampe mau nagis bacanya.bener" nyentuh banget...cpt lanjut ya ukh ^^
BalasHapusini cerpen, jadi langsung ending :)
BalasHapuscerita memang dibuat sad ending