>

Cari Blog Ini

Jumat, 13 November 2015

LELAKI HARAPAN

Jakarta sore di bulan november, mendung tanpa malu menutup langit biru, memberi isyarat bahwa hujan akan segera turun.
Seperti rintik hujan yang indahnya dirusak gemuruh, begitu pula hatiku. Ia mungkin akan menjerit mengalahkan suara gemuruh yang sedari tadi bersahutan. Sesekali aku alihkan pandangan ke jendela kaca dekat meja kerjaku. Seolah ingin berlari menembus derasnya agar hatiku ikut basah.
Penolakan itu, meski sudah 9 tahun yang lalu tapi masih terekam jelas di ingatanku. Seperti sambutan mengerikan menjelang kuliyahku. Aku dipermalukan demgan sepucuk surat yang diam-diam aku kirim untuk salah satu panitia ospek, yang jujur ku akui, satu minggu bersama dirinya membuat aku terpesona hatiku menjerit keras jika melihatnya  dan konyolnya, aku beranikan diri mengungkapkan perasaanku di hari terakhir ospek yang ternyata justru dibacakan ke seluruh panitia dan peserta. Saat itu meski aku ingin berlari keluar, tapi justru aku malah terpaku hingga semua mata mencari namaku. Ahh.. saat itu justru yang aku lakukan diam dan kemudian menangis, mendapati orang yang aku cintai telah memiliki kekasih.
Bayangkan, 4 tahun aku hanya malu melihat dia dan pacarnya. Semua orang mengejekku sebagai gadis yang di tolak cintanya, tak ada yang mau berteman denganku karena malu apalagi memacariku.


Tentu aku sangat ingat, bagaimana bangganya laki-laki itu ketika membacakan suratku didepan umum, atau ketika tanpa sengaja bertemu denganku di kampus. Aku ingat sekali, wajah yang aku cintai sekaligus amat aku benci. Wajah yang selalu membuat aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa berikan yang terbaik untuk hidupku. Maka ketika aku bisa lulus S1 dengan cumlaude dan naik ke atas panggung, mungkin itu untuk pertama kalinya aku tersenyum puas selama 4 tahun kuliyahku dan semua terpukau padaku disitulah aku bisa buktikan siapa diriku ditambah dengan beasiswa S2 ke luar negeri, lengkap sudah aku membuat namaku dikenal oleh hampir semua Mahasiswa, bahkan dia dan teman-teman nya yang sudah lulus terlebih dahulu.
 Dan mendadak perasaan itu muncul lagi, lalu aku harus bagaimana?
"Belum pulang Key?"
Sebuah suara membuat aku tersadar dari lamunanku. Adinda Cantika, wanita sederhana dengan jilbab coklat mudanya yang membuatku kembali mempercayai laki-laki.
"Aku masih menunggu hujan" jawabku mencari alasan.
Dinda nampak menahan tawanya "apa kamu perlu jas hujan untuk mobilmu?"
Aku sejenak terdiam, "Rino melamarku Din" kataku lirih.
Dinda langsung terbelalak dan mendekat padaku.
"Memang kalian sudah ketemuan? Dimana?"
"Kami ketemu bulan kemarin, di nikahan temanku. Dan ternyata dia juga belum menikah juga, dia ditinggalkan kekasihnya" kataku memulai cerita.
"Pacarnya pas kuliah?" Tanya Dinda
"Iya, mereka sudah pacaran 7 tahun. Dan putus karena pacarnya dijodohkan. Setelah pertemuan itu, sebenarnya kami sering ketemu. Tapi kemarin..." aku menggantungkan cerita berharap Dinda tau apa yang aku maksud.
"Dia melamarmu kemarin?"
Aku mengangguk.
Dinda hanya diam.
"Din, kamu kan pernah dikecewakan oleh laki-laki yang kamu cintai, seandainya kamu jadi aku, harus bagaimana Din?"
"Aku tidak akan mau key, untuk apa"
"Kenapa Din? Bukankah kamu bilang tidak semua laki-laki itu brengsek? Bisa jadi dia sudah berubah"
"Berubah? Dia mendekati kamu karena dia kecewa Key, coba kalau kekasihnya itu tidak meninggalkan dia, apakah dia masih mau mendekati kamu?"
Aku berdiri dari tempat aku duduk "jadi maksudmu aku lebih baik dari mantan pacarnya Din? Dulu mungkin, tapi bisa jadi dia sudah tau kualitas ku sekarang"
Dinda ikut bangkit dari duduknya "Jadi bisa jadi dia cinta sama kamu karena kualitas mu Key, dan aku tidak akan rela"
"Omong kosong Din, harusnya kamu bahagia karena cintaku bersambut! Jangan samakan Rino dengan calon suami kamu yang meninggalkan kamu!"
"Nah, kamu tau kan kalau kisah kita berbeda, lalu kenapa kamu masih minta pendapat ku? Aku heran padamu Key, kenapa kamu marah aku kasih masukan? Jangan karena usiamu kamu jadi gegabah".
Aku mendobrak meja, tak tahan dengan omongan pedas Dinda. "Mungkin kamu bisa tahan dengan usiamu Din, tapi maaf! Aku tidak"
Aku langsung berlalu meninggalkan Dinda yang belum sempat menanggapi apa yang aku bicarakan. Sore itu aku pulang dengan emosi.

Akhirnya aku terima lamaran Rino, Rino bilang tidak mau menunggu lama. Maka dari itu seminggu setelah aku iya kan orang tuanya langsung datang kerumah untuk melamarku secara resmi. Dan satu bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Aku yang sibuk sebar undangan dan mencari souvenir. Sedangkan hubunganku dengan Dinda malah makin dingin, ia bahkan satu-satunya orang kantor yang tidak aku undang. Jujur aku sedih, aku ingin sekali Dinda juga membantuku menyiapkan segala keperluan menjelang hari H. Tapi aku sekaligus sakit, karena Dinda yang aku pikir selama ini mengerti aku, ternyata malah tidak menyetujui pernikahanku.
Hingga tiba waktunya aku melangsungkan pernikahan dengan Rino, Inka sahabat Dinda mengirimkan pesan di ponselku bahwa Dinda telah mengundurkan diri dari kantor. Aku yang seharusnya bahagia mendadak merasa bersalah atas pengunduran diri Dinda. Mungkin aku terlalu keterlaluan bersikap pada Dinda, aku akui dua bulan ini aku tak pernah menyapa Dinda, aku abaikan sapaannya, bahkan dihari terakhir aku kerja sebelum cuti menikah, aku buang surat ucapan yang dia taruh diatas mejaku tepat didepan matanya.
Aku mencoba menghubungi Dinda tapi tidak bisa, Kalau saja hari ini bukan hari bahagia ku, ingin rasanya aku mencari Dinda dan memeluknya. Aku ingin dia mendampingi aku dihari bahagiaku. Ah Dinda aku begitu merindukanmu. Ponselku berbunyi kembali, Rino mengirim pesan untukku, aku yang tengah gelisah kembali tersenyum tipis. Dari semalam Rino mengirimi aku pulisi-pulisi indahnya. Dia bilang sekarang dialah yang tergila-gila padaku. Aku semakin yakin aku bisa bahagia bersamanya. Aku menikah karena cinta, bukan karena usiaku yang hampir kepala tiga, seperti yang dikatakan Dinda. Aku bersyukur bisa menikah dengan orang yang mencintaiku dan aku cintai. Orang yang sama-sama mencintai dan kemudian menikah, mungkin hanya ada 1:1000 di dunia ini. Dan aku bersyukur menjadi bagian yang 1 itu.
"Key, kok Rino dan keluarganya belum datang ya?"
Suara Mama menyadarkan aku dari lamunan panjang.
"Barusan Rino SMS kok Ma"
"Terus katanya apa? Mama udah gak enak sama penghulunya"
Aku tersenyum, "Belum Key baca Ma"
"Bagaimana sih, Coba sini Mama liat"
Mama meraih ponsel dari tanganku.
...........
"Astagfirullah!!!!"
Mama pingsan, dan semua GELAP!!!

Aku memandang biru langit dan laut yang saling beradu. Hari ini hari terakhir aku cuti menikah.
Setiap orang pasti menginginkan pernikahan ketika usianya dinilai sudah cukup. Terutama menikah dengan orang yang dicintainya. Sebuah pernikahan adalah fase dimana kita harus beradaptasi dengan orang yang disebut pasangan. Saling mengalah, mengerti, memahami.
Menikah?
Aku buka kembali pesan terakhir Rino.
**
Key, maaf aku tidak bisa menikah denganmu. Maaf aku sadar bahwa aku terlalu naif. Aku tidak ingin menyakitimu dengan cintaku. Kamu berhak bahagia.
Maaf aku selalu meninggalkan luka untukmu, tapi sungguh aku tak berniat begitu.
Yang mencintaimu, Rino
**
Aku tidak tau Rino, kenapa beru sekarang? Kenapa tepat hari pernikahan kita? Apa yang ada dalam fikiranmu? Untuk bersamamu, aku bahkan kehilangan sahabat terbaikku yang sekarang entah kemana.
Taukah? Dari semua yang kau lakukan padaku, ini adalah hal terparah yang kamu lakukan!!
Mungkin benar, aku hanyalah bagian dari 1000 orang yang kecewa.


***SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar