>

Cari Blog Ini

Selasa, 08 Desember 2015

TREFFEN

bisa jadi, pertemuan yang menurutmu biasa saja, akan ada kisah dikemudian hari.
karena tidak ada yang kebetulan didunia ini..

RUANG TUNGGU


Kembali aku lirik jam tanganku, seolah bergerak begitu cepat dan membuat aku harus pasrah ketika apa yang ku rencanakan harus gagal.
Maklum aku baru bekerja sebagai kasir di salah satu perusahaan pribadi milik teman orang tuaku. Pekerjaanku menuntutku untuk melakukan pembayaran dari bank satu ke bank lain atau mencairkan cek. Pokoknya aku yang mengurus seluruh transaksi yang terjadi di kantor.
Meski perusahaan tempatku bekerja terbilang belum cukup besar, tapi transaksi uang masuk dan keluar lumayan sering.
Termasuk hari ini, harusnya aku ke beberapa bank untuk melakukan pembayaran sesuai nomor rekening bank yang akan aku bayarkan. Karena kalau langsung pindah buku dari cek atau RTGS pasti dikenai biaya.
Sudah 3 jam aku menunggu konfirmasi yang dilakukan bank. Tidak biasanya selama ini. Alasannya Om Hadi -sahabat orang tuaku- sulit dihubungi untuk melakukan konfirmasi. Aku juga ikut menghubungi dan tidak diangkat.
Aku akhirnya cuma pasrah di kursi tunggu sambil memperhatikan nasabah yang berlalu lalang.
"Sudah punya pacar mbak? Saya masih single loh"
Dan suara inipun sudah mengganggu sejak 10 menitan yang lalu.
"Mbak tinggal dimana? Saya kan sering kesini masak ndak kenal to sama saya"
Suara medok jawanya yg khas,  memancingku untuk melirik si pemilik suara. Wajahnya lumayan tampan.
"Saya ndak biasa goda cewek loh mbak. Saya serius, saya sering perhatikan mbak dan hapal muka mbak"
"Ya iyalah, mba itukan teller. Walaupun ndak naksir pasti kita hapal mukanya" Aida teman satu kantor yang menemaniku ke bank akhirnya nyeletuk.
Ternyata dia memperhatikan hal yang sama denganku. Sementara mbak-mbak teller yang di goda cuma membalas senyum.
"Maaf pak, ini nomor rekening yang bapak tulis tidak terdaftar di bank kami"
Mas yang sekilas melirik ke kami karena celetukan Aida itupun kembali fokus ke mbak teller.
"Walaah.. kok bisa mbak. Saya coba hubungi orang kantor dulu. Saya cuma disuruh"
"Silahkan menunggu di kursi tunggu yang sudah disediakan Pak"
Dia yang semula asyik menggoda mbak teller pun jadi panik. Sementara Aida cekikikan.
Beberapa saat dia coba menghubungi seseorang, tapi gagal.
"Mbak, saya balik kekantor dulu ya. Kantor saya dekat dari sini. Orang kantor pada sibuk dihubungi" katanya pada mbak teller.
Semetara mbak teller hanya tersenyum meng iyakan. Senyum termanis yang pernah aku lihat. pantas saja kalau mas-mas tadi naksir sama mbak teller.
"Mbak, masih lama ya" Aida kembali menggerutu.
"Pak Hadi juga susah dihubungi da"
"Apa kita pulang saja. Kita tarik lagi ceknya, toh transaksi selanjutnya gagal juga kan, ndak mungkin kekejar, sudah sore"
"Lah.. kalau ini cair, besok pagi kita tinggal jalanin aja kan. Ndak perlu kesini lagi"
Aida akhirnya pasrah.
"Mbak permisi, boleh pinjam pulpennya ndak? Pulpen yang disediakan bank macet semua"
Aku menoleh keasal suara. Ternyata mas yang godain mbak teller tadi.
"Ini mas" kataku
"Teman saya jangan di godain juga ya mas, meskipun dia jomblo" Aida nyeplos lagi.
Aku mencubit lengan aida gemas. Sementara masnya malu-malu. Dan kembali ke tempat pengisian slip.
"Apaan sih Da"
"Lumayan tau, buat kondangan juga ndak malu-maluin. Katanya kamu suka pria berkacamata. Itu pake kacamata"
Mau tidak mau aku perhatikan juga dia. Iya Aida benar, dia memang tampan, sudah gitu tadi bicara padaku sopan.
Dia kembali ke teller, dan melirihkan pembicaraannya dengan mbak teller, kali ini mereka terlihat akrab, ah.. apa aku ini, baru juga ketemu sudah naksir.
"Ibu Adinda Cantika" mbak teller yang melayaniku memanggil namaku.
Akhirnya transaksiku selesai, uang sudah dihitung semua, tapi mas itu masih asik ngobrol dengan mbak teller yang ditaksirnya sambil memainkan pulpenku.
Ah.. mungkin cinta telah membuatnya lupa kalau itu pulpen pinjaman. Padahal aku mengharapkan dia mengembalikan dan berkenalan denganku.
Karena semakin sore dan bank sudah mau tutup, akupun buru-buru pulang tanpa peduli apa lagi.
Ini hanya soal pertemuan, semenarik apapun dia, tapi peluangku untuk kenal dengannya sangatlah tipis.
Jadi pertemuan yang bahkan kebetulan ini aku biarkan saja. Mungkin besok aku juga lupa wajahnya.
***SELESAI....


HUJAN DISORE HARI


"yaah.. ban nya bocor neng"
Mang ojeg segera menghentikan laju motornya. Dan benar saja ban belakangnya kempes.
"Terus bagaimana mang? Mau hujan juga, saya takut nggak keburu maghrib"
"Mamang cari tukang tambal dulu ya neng. Neng jangan ikut, tunggu disini saja. takut kehujanan"
Aku berfikir sejenak, melihat sekeliling.  Hanya ada toko-toko yang hampir tutup.
"Ya sudah mang, saya tunggu di minimarket situ ya"
Mamang langsung meng iyakan. Dan pergi menuntun motor tuanya.
Mamang adalah ojeg langganan keluargaku sejak aku masih kecil. Karena anak perempuan satu-satunya, orang tuaku hanya merasa aman jika pulang pergi kerja aku di antar mamang. Sebenarnya bukan karena aku tidak bisa naik motor, tapi karena jarak yang jauh dan beberapa hal yang mereka pertimbangkan sendiri mama dan papa jadi khawatir kalau aku tidak bisa fokus dijalan karena kecapaian.
Mamang tak cuma mengantar jemput aku kerja, tapi juga mama dan bi sumi pembantuku dirumah.
Menunggu mamang minimarket, palingan ya hanya belanja. Aku sudah biasa lewat daerah ini, dan baru sekali ini singgah. Sambil mengulur waktu aku cuma bisa jalan-jalan sambil membeli yang sebenarnya tidak ingin ku beli. Ya hitung-hitung buat oleh-oleh mama dan papa atau bi sumi.
Satu jam mamang belum juga sampai, dan satu jam juga aku berpindah dari rak satu ke rak yang lain. Mulai bosan, dan merasa tidak nyaman.
Mau tidak mau aku harus menunggu diluar yang sedari tadi diguyur hujan.
Dulu aku sangat menyukai hujan, tapi karena beberapa hal aku pantas membencinya. Entah kenapa, Hujan selalu mengingatkan aku akan sesuatu yang paling aku benci. Padahal katanya hujan adalah waktu terbaik untuk berdo'a. Dan berkali-kali ketika hujan aku meminta hal yang sama, sudah bertahun-tahun aku hanya meminta dia kembali.
"Lagi nunggu suami mbak?"
Lamunanku dibuat buyar oleh seseorang.
"Tidak, lagi nunggu tukang ojeg"
Laki-laki itu tersenyum "oh.. alhamdulillah..  kirain nunggu suami"
Meskipun dia tampan, tapi sungguh aku tidak ingin terpikat dengan dia.
"Kadang mbak, kita merasa kehilangan karena kita merasa yang memiliki. Tapi kita lupa, bahwa diri kita sendiri saja bukan milik kita"
Mau tidak mau aku memperhatikan dia. Dia sok tahu, tapi memang benar apa yang dia bicarakan.
"Maksud mas? Jangan sok tahu, saya cuma memperhatikan hujan"
"Oh.. maafkan saya, biasanya orang-orang yang melamun disaat hujan itu pasti anak muda yang mengharapkan pendamping hidupnya"
"Lalu apa masalahnya? Itu tidak mengganggu mas kan?"
Dia tersenyum "masalahnya kadang do'anya mengatur"
"Mengatur?"
"Ya, mengatur Allah untuk menjodohkan dengan seseorang. Padahal belum tentu dia yang terbaik untuk dirinya. Nah seumpama tidak berjodoh, dan kehilangan, apa ada jaminan dia tidak mengutuk hujan?"
"Saya rasa tidak semua orang seperti itu, bisa jadi dia berdo'a yang lain"
"Tapi mbak begitu kan? Saya bilang biasanya, dan itu termasuk mbak. Berdo'a itu dengan khusyuk, kalau bisa wudhu. Bukan sambil melamun. Contoh saja, kalau seumpama kita minta ke orangtua kita sesuatu, tapi mintanya sambil melamun. Nanti dikira tidak serius"
Aku hampir saja mengajaknya bertengkar sampai akhirnya mamang membunyikan klakson motornya menyuruhku cepat-cepat naik selagi hujannya hanya gerimis.
Aku merasa dihina. Seolah dia tau banyak tentang aku, padahal baru kali ini kami bertemu. Seolah hanya dengan lamunanku dia bisa tau.
Toh, aku juga tak ingin membuang tenagaku. Cepat saja aku suruh mamang menjalankan motornya meninggalkan dia.
"Hati-hati mbak Ririn"
Deg! Dia tau namaku?!
sementara mamang serius mengendarai motornya, aku terus bertanya-tanya siapa orang itu tadi? Bagaimana bisa dia tau namaku? Apa sebelumnya kami pernah bertemu? Dimana? Wajah itu sangat asing bagiku..
Dan apakah hujan akan membuat sejarah baru sepeninggal mas Fikri?
***SELESAI....


SEPANJANG PERJALANAN


Jakarta siang hari, aroma debu kendaraan diperparah dengan kemacetan yang sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dipisahkan.
Berisik klakson saling bersahutan, seolah menambah suhu panas metromini. Memaklumi siapa saja yang marah atau sekedar ngomel.
"Bagaimana macetnya mau selesai, gak ada yang mau ngalah" gerutu ibu-ibu yang duduk disebelahku.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Dia hanya melihatku sekilas tanpa membalas senyumku. Usianya sekitar 40an, tubuhnya putih bersih memakai baju daster dan celana kulot.
"Ayo.. ciledug.. ciledug.." teriak si kondektur.
"Sudah penuh, masih aja ngetem"
kembali si ibu menggerutu karena metro yang kami naiki ngetem dipasar Kebayoran Lama.
"Mau kemana bu?" Aku memberanikan diri bertanya
Si ibu yang sedang mengibas-ngibaskan rambutnya dengan tangan menoleh ke arah ku.
"Adik tanya saya?"
"Iya, Ibu mau kemana?"
"Mau ke Seskoal" jawabnya singkat.
Tenggorokan ku tercekat. Ingin mengajak Ibu ini ngobrol, tapi bingung apa yang ditanyakan. Karena kalau dalam perjalanan yang membosankan tidak akan terasa bila teman dalam perjalanan itu nyaman.
"Sudah biasa naik metro ya bu?" Tanyaku sekali lagi.
"Kalau saya punya mobil, saya mah milih gak usah naik metromini neng" jawabnya ketus.
Akhirnya aku hanya diam. Sepertinya si Ibu tidak mau diajak mengobrol.
tak lama kemudian si ibu turun.
Aku bisa lihat wajah kesalnya dikejauhan.
ah.. mungkin saja dia sedang ada masalah. Aku percaya semua orang baik.
"Boleh saya duduk disini mbak?"
"Silahkan"
Kali ini seorang remaja umuran 20 an duduk disampingku.
dia tampak lebih enjoy sambil memainkan gadgetnya. Tubuhnya tinggi putih memakai jeans dan kaos.
"Mau kemana?" Tanyaku
"Ke kampus, mbak sendiri mau kemana?"
"Kerumah saudara"
Dia hanya manggut-manggut sambil kembali ke gadgetnya.
Begitulah sepanjang jalan kami hanya diam dan sesekali berbagi senyum sampai dia tiba di kampusnya, dan turun dengan tanpa menyapaku. Kemudian masuk seorang wanita usia sekitar 23an. Tinggi dan kulitnya hitam manis memakai jilbab yang lumayan lebar dan gamis, duduk disampingku.
Sesaat kami berbagi senyum. Aku merasa minder dengan penampilanku yang belum sempurna untuk dibilang syar'i.
"Mbak, maaf boleh pinjam hapenya? Hape saya lowbat. Mau memberi kabar ke suami" katanya padaku.
Akupun langsung memberikan hapeku yang sedari tadi kusimpan didalam tas.
sesaat dia memencet beberapa digit nomor dan pesan.
"Ini mbak, terimakasih" katanya sambil memberikan Hp ku.
"Mau saya pinjami powerbank mbak?" Tawarku.
"Oh.. tidak usah, saya sebentar lagi sampai kok"
Kali ini aku yg manggut-manggut. Bingung juga mau bertanya apa.
"Kadang nih ya mbak. Hape itu justru membatasi komunikasi kita, kenalkan saya Nia"
"Saya Aruna" aku ikut memperkenalkan diri.
"Nama yang bagus, orang tua mbak suka dengan senja?"
"Mungkin, oya, maksud mbak Nia membatasi komunikasi bagaimana ya?"
"Ya begini nih, dijalan itu moment kita mengenal orang atau menambah kenalan. Harusnya itu jadi nikmat tersendiri untuk pengguna angkutan umum" "tapi kadang masing-masing sudah sibuk dengan hapenya"
Aku tersenyum meng iyakan.
"Makanya tadi pas masuk angkot, saya cari dulu perempuan yg ndak fokus di hapenya"
"Iya juga sih mbak."
Mbak Nia kembali tersenyum.
Begitulah sepanjang perjalanan kami ngobrol kesana kemari, tentang perilaku kehidupan sehari-hari sampai tentang keluarga.
"Mba Aruna, saya hampir sampai. Bolehlah kapan-kapan main kerumah saya. Nanti saya hubungi ya, saya sudah punya nomor mbak"
"Iya mbak Nia, hati-hati ya"
Akhirnya aku bisa melihat seseorang turun dari metro dengan senyum kepadaku.
"Dari semua yang duduk dengan mbak, baru itu yang menyejukkan ya?"
Aku menoleh keasal suara. Ternyata ada yang memperhatikan aku sedari tadi. Dia duduk di seberang kursiku.
"Kenalkan saya Rino, mbak Aruna kan?"
Aku mengangguk mengiyakan. Ingin sekali ngobrol, tapi aku sudah sampai ditempat yang aku tuju. Mau tidak mau aku harus berhenti.
"Saya permisi turun duluan ya mas Rino, semoga lain kali bertemu" pamitku.
"Oh iya, silahkan"
kali ini aku yang tersenyum pada seseorang di dalam metromini. Aku akui mas Rino lumayan tampan dan sepertinya orang baik-baik. Aku langsung terpikat begitu memandangnya. Sayangnya aku tak sempat meminta nomornya.
Ah.. belum tentu juga dia naksir sama aku. Kenapa aku begitu menyesali. Mungkin hanya kebetulan saja dia memperhatikanku.
***SELESAI....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar